Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Pakar dan BPOM Nilai Kontaminasi BPA Galon Polikarbonat Bisa Ganggu Kesehatan Reproduksi

Kompas.com - 14/09/2024, 14:04 WIB
Erlangga Satya Darmawan,
Aditya Mulyawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Praktik industri air minum dalam kemasan (AMDK), khususnya penggunaan galon guna ulang dinilai sangat memprihatinkan.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dr I Made Oka Negara mengatakan, keprihatinan tersebut terlihat dari proses pendistribusian air galon yang menggunakan truk-truk terbuka.

Menurutnya, pengangkutan galon menggunakan truk terbuka dapat menimbulkan masalah kesehatan serius.

Hal itu dr Oka sampaikan saat menjadi narasumber pada seminar BPA Free bertema “Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sejahtera”, di Hotel Amaroossa Cosmo, Jakarta, Kamis (5/9/2024).

Galon, baik yang diisi maupun tidak, akan menjadi masalah pada waktu akan didistribusikan (dengan truk terbuka) ke distributor. Ini sering saya lihat. Beberapa data juga menyebutkan bahwa walaupun mereka tidak panas, tapi dalam distribusinya bisa terpapar panas karena ditaruh di truk-truk terbuka,” ujar dr Oka dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (13/9/2024).

Dokter Oka menambahkan, galon yang didistribusikan dengan truk terbuka jadi terpapar langsung oleh suhu ekstrem, terutama panas matahari yang menyengat.

Paparan panas matahari itu, lanjutnya, dapat memicu pelepasan senyawa Bisfenol A (BPA) dari dinding kemasan galon ke dalam air yang diwadahinya.

“Jadi, paparan panas dan paparan sinar ultraviolet (UV) akan menyebabkan pelepasan BPA. Saran saya, truk-truk pengangkut harus beratap agar BPA-nya tidak tergelontor lepas. Dalam konteks kandungan senyawa kimia BPA, beberapa penelitian banyak yang menjelaskan bahwa BPA berbahaya secara akumulatif untuk kesehatan,” katanya.

Risiko BPA, tambah dr Oka, bisa bertambah jika galon yang telah dipakai dicuci secara berulang.

Dokter Oka juga menegaskan bahwa paparan senyawa BPA bisa menyebabkan kelainan pada janin, khususnya laki-laki.

Pasalnya, BPA dapat meningkatkan risiko kesehatan berupa mikropenis pada janin berjenis laki-laki. Gangguan itu adalah kondisi yang membuat ukuran penis jadi lebih kecil dari biasanya.

“Bila BPA dikonsumsi terus menerus, ibu hamil yang janinnya laki-laki akan mengalami gangguan estrogen, mikropenis, dan gangguan kesuburan. Kalau pada perempuan, cenderung mengalami debut seksual lebih awal serta payudara dan panggulnya lebih besar di awal,” ucapnya.

Temuan BPOM

Anggota Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM Yeni Restiani menjelaskan bahwa proses migrasi atau perpindahan BPA dari kemasan ke dalam pangan bisa terjadi karena beberapa hal.

“Penyebabnya antara lain proses pencucian yang tidak tepat, penggunaan air pada suhu tinggi di atas 75 derajat Celcius, adanya residu detergen, pembersihan yang mengakibatkan goresan, penyimpanan tidak tepat, serta paparan sinar matahari langsung atau karena lamanya terpapar sinar matahari,” jelas Yeni

Untuk meminimalisasi paparan BPA, Yeni pun menekankan urgensi regulasi pelabelan dan kemasan bahan plastik yang perlu diketahui oleh keluarga dan masyarakat di Indonesia.

“Terkait hal tersebut, kami mewajibkan agar semua AMDK yang beredar di Indonesia mematuhi ketentuan dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024. Peraturan ini berlaku sejak 5 April 2024,” kata Yeni.

Yeni menjelaskan, terdapat dua poin penting dalam perubahan kedua Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang kini juga mencakup tambahan Pasal 61A.

Salah satu poin itu secara tegas menyebutkan bahwa AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan label yang menyatakan “Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada AMDK”.

“Regulasi pelabelan pada kemasan AMDK polikarbonat kini sudah sah diberlakukan dengan tenggat waktu empat tahun kepada produsen untuk berbenah. BPOM mendasari urgensi pelabelan ini berkat temuan lapangan yang menemukan adanya kandungan BPA pada air minum kemasan galon polikarbonat di enam daerah di Indonesia,” ucap Yeni.

Selain itu, penelitian BPOM juga menemukan kadar BPA yang melebihi ambang batas (0,9 ppm per liter) pada air minum dalam kemasan galon selama periode 2021-2022.

Kasus BPA yang melebihi ambang batas 0,6 ppm per liter itu ditemukan di enam kota, seperti Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.

Berdasarkan temuan BPOM, tingginya kadar BPA tersebut sebanyak 3,5 persen ditemukan pada sarana distribusi dan peredaran.

Sementara, hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan (0,05 hingga 0,6 ppm) menemukan bahwa 46,97 persen kontaminasi terjadi di sarana distribusi dan peredaran. Kemudian, sebanyak 30,19 persen ditemukan di sarana produksi.

Selain itu, uji kandungan BPA pada AMDK yang melebihi 0,01 ppm juga menunjukkan bahwa 5 persen kasus ditemukan di sarana produksi dan 8,6 persen di sarana distribusi dan peredaran.

Perlu diketahui, temuan BPOM terkait kontaminasi BPA berlebih pada AMDK galon terjadi akibat proses pascaproduksi.

Selain itu, proses transportasi dan penyimpanan AMDK galon dari pabrik menuju konsumen juga diduga tidak sesuai prosedur.

Misalnya, galon yang terkena paparan panas matahari atau dibanting-banting saat diturunkan diyakini menjadi penyebab kandungan BPA dalam kemasan galon bermigrasi ke dalam air.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau