Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr Kurniasih Mufidayati
Anggota DPR-RI

Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPR RI dan dosen.

Catatan Kritis Persiapan Penerapan KRIS BPJS Kesehatan

Kompas.com - 19/09/2024, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH berencana menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam pelayanan pasien rawat inap yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan perawatannya ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Jika semula ruang rawat inap dan pelayanan pasien BPJS disesuaikan dengan kelas kepesertaan, melalui penerapan KRIS, tidak ada lagi pembedaan perawatan bagi pasien peserta BPJS berdasarkan kelas.

Semua peserta BPJS akan mendapat pelayanan rawat inap dengan kelas yang sama.

Penerapan KRIS ini tentu membawa implikasi kepada pasien maupun rumah sakit yang akan memberikan pelayanan rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan. Di rumah sakit pun selama ini juga ada stratifikasi pelayanan berdasarkan kelas layanan, dari kelas III sampai VIP.

Rencana penerapan KRIS menurut pemerintah adalah amanat Undang-Undang (UU) di mana dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada pasal 19 ayat 1 menyebutkan bahwa “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.

Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat 4 juga disebutkan “dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”.

Rencana penerapan KRIS semakin diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Pada Pasal 54 A dan B menyebutkan peninjauan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020, diterapkan bertahap paling lambat tahun 2022 dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

Persiapan pelaksanaan KRIS

Dalam rangka persiapan penerapan KRIS, pemerintah juga sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.

Pasal 18 PP No. Tahun 2021 menyebutkan bahwa jumlah tempat tidur rawat inap kelas standar paling sedikit 60 persen total tempat tidur di RS pemerintah dan paling sedikit 40 persen total tempat tidur di RS swasta.

Kemudian PP No. 59 Tahun 2024, pasal 47 juga menetapkan bahwa fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap mencakup sarana dan prasarana, jumlah tempat tidur, dan peralatan yang diberikan berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar.

Penerapan KRIS rencananya akan dilakukan di 3.057 rumah sakit dari total 3.176 rumah sakit di Indonesia.

Terdapat 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit untuk implementasi KRIS. Mulai dari komponen bangunan, ventilasi udara, pencahayaan ruangan buatan, kelengkapan tempat tidur sampai kondisi kamar mandiri dan outlet oksigen.

Hingga Mei 2024, ada 2.316 RS yang sudah memenuhi 12 kriteria. Artinya, sebagian besar RS yang akan menerima pasien BPJS sudah siap menerapkan KRIS.

Penerapan KRIS bagi peserta JKN/BPJS direncanakan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan rumah sakit.

Pada 2023, dari target 1.216 RS yang siap implementasi KRIS, realisisasnya baru 995 RS. Selanjutnya pada 2024 dari target 2.432 RS yang siap untuk implementasi KRIS, realisasinya baru 1.053 RS atau hanya bertambah 58 RS dari tahun sebelumnya.

Masih ada 2.004 RS yang belum divalidasi datanya untuk siap dalam mengimplementasikan KRIS. Validasi dilakukan untuk memastikan RS tersebut betul-betul sudah memenuhi 12 kriteria untuk mengimplementasikan KRIS.

Catatan kritis penerapan KRIS

Di balik segala persiapan untuk mengimplementasikan KRIS, sejumlah pertanyaan masih muncul dalam rencana pelaksanaannya. Bahkan masih ada perbedaan tentang bentuk penerapan KRIS di antara pemerintah sendiri.

Sebagai contoh, menteri kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional berpandangan dengan penerapan KRIS, berarti hanya ada satu tarif iuran peserta BPJS sebagai implikasi hanya ada satu jenis kelas perawatan pasien.

Namun, menurut pihak BPJS Kesehatan, jika diberlakukan satu tarif, maka tidak sesuai dengan filosofi asuransi sosial dengan prinsip gotong royong, karena baik yang sangat mampu maupun kurang mampu akan membayar dengan besaran iuran yang sama. Selain itu, akan berdampak pada beban pembiayaan yang semakin besar.

Sebagai contoh, jika digunakan tarif tunggal dalam penerapan KRIS dengan besar iuran antara iuran kelas II dan III, maka meskipun pada tahun 2022 surplus yang dialami neraca DJSN mencapai sebesar Rp 56,5 triliun, hasil simulasi penerapan tarif tunggal dengan skema tersebut akan membuat defisit pada tahun 2025 sebesar Rp 12,3 triliun.

Jika tarif tunggal menggunakan tarif kelas II, maka defisitnya pada 2024 akan mencapai Rp 23,27 triliun.

Sehingga manajemen BPJS Kesehatan cenderung menolak bahwa penerapan KRIS adalah satu jenis kamar perawatan (standar) sekaligus juga satu tarif iuran kepesertaan (jika yang digunakan adalah tarif kelas II atau antara kelas II dan III).

Masih adanya perbedaan pandangan tentang bentuk penerapan KRIS di antara institusi pemerintah menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana KRIS ini akan diimplementasikan?

Sementara pemerintah punya target waktu untuk penerapan KRIS. Masih diperlukan perhitungan yang matang untuk penerapan KRIS ini.

Catatan berikutnya, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada standarisasi pelayanan perawatan inap saja, namun juga pada standarisasi pelayanan rawat jalan dan pemberian rujukan.

Apalagi lebih banyak pasien peserta BPJS yang melakukan visit untuk konsultasi dan rawat jalan dibanding rawat inap.

Sementara Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang menjadi pintu pertama pelayanan peserta BPJS Kesehatan masih berbeda-beda standar pelayanannya antardaerah, bahkan dalam satu daerah, tergantung pada fasilitas yang dimilikinya.

FKTP di pedesaan atau daerah kabupaten, misalnya, masih cukup tertinggal dibanding FKTP di perkotaan.

Puskesmas di kabupaten dekat Jakarta masih kalah dalam memberikan pelayanan dibanding Puskesmas atau RSUD Tipe D di Jakarta.

Akibatnya peserta BPJS Kesehatan kelas I sekalipun, ketika FKTP-nya berada di Puskesmas di kabupaten, akan mendapatkan pelayanan yang kurang dibanding peserta BPJS kelas III yang FKTP-nya adalah Puskesmas atau RSUD tipe C atau D di perkotaan.

Belum lagi standarisasi dalam memberikan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut (ke spesialis, misalnya). Sudah menjadi rahasia umum kalau Puskesmas cenderung sulit/pelit memberi rujukan bagi pasien yang sebetulnya membutuhkan rujukan untuk pemeriksaan lanjutan.

Seharusnya pemerintah dan pihak BPJS memberikan perhatian besar terhadap standarisasi pelayanan untuk pelayanan rawat jalan.

Catatan lain adalah kesiapan rumah sakit khususnya RS Tipe C dalam menerapkan KRIS dengan ketersediaan kamar parawatan yang saat ini dimilikinya.

Ketika standarisasi yang digunakan adalah ruang perawatan kelas II saja, banyak RS tipe C yang kesulitan menyediakannya.

Sebagian RS tipe C untuk kelas III, misalnya, masih terdiri dari 4-6 tempat tidur, bahkan ada yang 8 tempat tidur.

Fakta ini juga terkonfirmasi dari proses validasi yang dilakukan, di mana masih minim realisasi pencapaian 12 kritera yang diperlukan untuk penerapan KRIS. Padahal semula pemerintah menyatakan sebagian besar RS sudah memenuhi 12 kriteria tersebut.

Bagi RS Tipe C, dengan standar ini, berarti akan ada pengurangan tempat tidur untuk memenuhi standar tersebut.

Implikasinya ada dua, yaitu pasien akan dioper dari satu RS ke RS lain karena ketidaktersediaan tempat tidur atau rujukan untuk dirawat akan semakin sulit karena keterbatasan tempat tidur di RS.

Padahal KRIS seharusnya berimplikasi pada peningkatan layanan, bukan justru menurunkan kualitas pelayanan bagi pasien BPJS.

Belum lagi isu perbedaan pelayanan antara pasien BPJS dengan pasien bayar pribadi atau asuransi umum di mana pasien BPJS sering merasa dianaktirikan.

Perlu persiapan matang

Melalui penerapan KRIS bagi peserta BPJS, pemerintah memiliki niatan baik, yaitu untuk meningkatkan standar layanan medis di seluruh rumah sakit dengan menghapus semua kelas perawatan dan menyeragamkannya. Sehingga pelayanan peserta BPJS Kesehatan bisa lebih adil.

Namun penerapan KRIS tetap memerlukan persiapan yang sangat matang dan tidak terburu-buru. Penerapan tergesa-gesa tanpa memperbaiki sistem yang ada akan menyebabkan penerapan KRIS berpotensi menimbulkan masalah.

Tanpa perencanan dan perhitungan matang, KRIS juga berpotensi menghambat akses peserta kepada ruang perawatan.

Penerapan KRIS yang merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 menetapkan bahwa rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen total ruangan yang ada, sedangkan rumah sakit pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.

Ini berimplikasi akan terjadinya pembatasan akses bagi peserta BPJS Kesehatan ke ruang perawatan di RS karena tidak bisa seluruh ruang perawatan digunakan.

Saat ini saja ketika ruang perawatan kelas I, II, dan III bisa semuanya dialokasikan untuk pasien JKN/BPJS Kesehatan, masih sering terjadi pasien peserta BPJS Kesehatan kesulitan mendapatkan ruang perawatan. Apalagi jika nantinya dibatasi dengan adanya KRIS.

Di sisi lain, penerapan KRIS juga berisiko bagi rumah sakit, khususnya RS kecil, mengalami kesulitan pendanaan untuk melakukan perombakan ruang perawatan dan melengkapi sarana yang diperlukan untuk memenuhi kriteria KRIS.

Kebutuhan bagi peserta JKN sesungguhnya adalah kemudahan akses peserta terhadap pelayanan kesehatan kapanpun dan di manapun, bukan atas dasar kelas standarnya. Peserta juga berharap kemudahan dalam hak atas obat, visitasi dokter, dan ketersediaan kamar.

Mengingat hal-hal tersebut adalah jaminan yang perlu ditingkatkan oleh penyelenggara BPJS Kesehatan.

Bagaimana penerapan KRIS bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan peserta JKN terhadap pelayanan yang baik dan kemudahan atas akses dan hak-hak tersebut.

Sangat disayangkan jika hal esensi dari penyelenggaraan kesehatan sama sekali tidak disebutkan dalam kriteria yang mengusung prinsip ekuitas ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau