Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/10/2016, 14:00 WIB

Oleh Adhitya Ramadhan

Yoshinori Ohsumi sedang berada di laboratoriumnya di Tokyo, Jepang, ketika komite Hadiah Nobel mengabari bahwa dirinya mendapat Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2016, Senin (3/10). Ini adalah buah dari ketekunannya menempuh dunia sunyi di laboratorium selama hampir tiga dekade.

Yoshinori (71), pria asal Fukuoka, Jepang, mendapat Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2016 karena berhasil mengungkap otofagi (autophagy), yaitu mekanisme sel mendaur ulang atau memperbaiki dirinya untuk tetap bertahan.

Otofagi adalah pengumpulan komponen sel pada organel, lalu dikirim ke satu tempat dalam sel bernama lisosom atau vakuola untuk dihancurkan dan didaur ulang. Proses ini kerap terjadi pada kondisi kelaparan sehingga memungkinkan sel tetap bertahan.

Konsep otofagi sebenarnya sudah dikenal para ilmuwan sejak tahun 1960-an saat diketahui bahwa sel mengirim komponennya yang rusak pada pusat daur ulang. Namun, pengetahuan para ilmuan hanya sampai di situ. Soal bagaimana proses daur ulang berlangsung masih gelap.

Pada 1990-an, Yoshinori menggunakan ragi untuk meneliti gen apa yang berperan dalam otofagi. Kemudian, ia mengungkap mekanisme yang mendasari otofagi terjadi. Ia menunjukkan bahwa proses itu juga terjadi pada sel tubuh manusia.

Terpengaruh ayah

Yoshinori mengatakan, jalan hidupnya menjadi seorang peneliti besar kemungkinan dipengaruhi oleh ayahnya yang merupakan profesor teknik di Kyushu University, Jepang. Yoshinori, yang tumbuh dan bertahan pasca perang dunia kedua, terbiasa akrab dengan kehidupan akademik ayahnya. Ia lebih menyukai ilmu alam dibandingkan dengan ayahnya yang bekerja di bidang yang sangat berorientasi industri.

Saat di bangku sekolah menengah, pemuda itu tertarik dengan ilmu kimia. Ia kemudian masuk University of Tokyo. Akan tetapi, ia menyadari, ternyata kimia tidak begitu menarik buatnya karena bidang ilmunya yang sudah mapan.

”Saya pikir, saya beruntung karena tahun 1960-an adalah era keemasan biologi molekuler sehingga saya memutuskan bekerja di bidang itu,” ujarnya dalam The Journal of Cell Biology, April 2012.

Namun, tidak banyak laboratorium biologi molekuler di Jepang saat itu. Selagi mahasiswa, ia melakukan penelitian sintesis protein pada Escherichia coli di laboratorium pimpinan Dr Kazutomo Imahori.

Sayangnya, hasil kerja Yoshinori di tempat itu tidak memuaskan. Selain itu, begitu lulus kuliah, ia juga menghadapi kenyataan bahwa sulit untuk mendapat pekerjaan yang bagus saat itu di Jepang. Atas saran Imahori, ia akhirnya melanjutkan studi postdoctoral di The Rockefeller University, New York, Amerika Serikat.

Fase hidup di Amerika adalah masa-masa tersulit dalam hidup Yoshonori. Di laboratorium pimpinan Dr Gerald Edelman, Yoshinori tidak lagi meneliti E coli, tetapi sel mamalia dan biologi perkembangan.

Dengan bidang itu, ia seharusnya menghasilkan sistem reproduksi buatan (in vitro fertilization/IVF) pada tikus. Namun, ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam embriologi dan hanya mengerjakan sel telur yang sedikit. Yoshinori pun frustrasi.

Setelah 1,5 tahun berlalu, ia memutuskan bekerja dengan koleganya, Mike Jazwinski, yang meneliti duplikasi DNA pada ragi. Ini adalah pertama kalinya Yoshinori meneliti ragi. Langkah ini menjadi lompatan terbesar dalam perjalanan kariernya sebagai peneliti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com