KOMPAS.com - Kebanyakan orang mungkin selama ini menganggap bersyukur sebagai rasa terima kasih kepada Sang Pencipta.
Namun, belum banyak yang menyadari bersyukur ternyata lebih manjur mengobati rasa sakit ketimbang dari obat.
Melansir Inc., dokter Tanmeet Sethi yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat, menggunakan pendekatan bersyukur untuk meredakan nyeri dan sakit pasiennya.
Direktur Integrated Medicine Fellowship di Swedish Hospital ini baru saja membagikan pengalamannya di acara TEDx Seattle Women Talk.
"Riset telah membuktikan bersyukur dapat membantu pelepasan dopamin. Itu membuat kita bahagia," jelas Sethi.
Sethi menjelaskan, semakin banyak dopamin yang dilepaskan, otak kita semakin banyak menemukan hal yang bisa disyukuri.
Dengan kata lain, semakin sering bersyukur maka kemampuan kita untuk lebih bersyukur kian terasah.
Menurut Sethi, saat bersyukur, kita turut merangsang bagian korteks prefrontal.
Bagian otak tersebut mengatur aktivitas saraf untuk mengendalikan stres dan rasa sakit.
Proses itu sama saat kita merasakan rasa sakit berkurang ketika bersama orang-orang yang dicintai.
"Dengan mengubah persepsi otak, kita mendapatkan pengalaman yang lain," jelas dia.
Baca juga: Siasati Warna-Warni Kehidupan dengan Bersyukur
Dengan pemahaman tersebut, Sethi menggunakan praktik bersyukur untuk menangani pasiennya.
Dia biasanya melatih pasiennya menyadari rasa syukur dengan menemukan sesuatu yang berbeda untuk disyukuri setiap hari selama sebulan.
Dari praktik sederhana tersebut, dia lantas menyarankan mereka untuk mengucap terima kasih kepada rasa sakitnya.
"Saya punya pasien dengan sakit parah. Saat bilang terima kasih pada nyerinya, dia juga mengendurkan otot perut perutnya. Hasilnya lebih baik daripada ibuprofen," katanya.