KOMPAS.com - Dongeng tentang putri tidur pasti bukan hal yang asing lagi di telinga Anda.
Kisah serupa juga terjadi di dunia nyata. Dalam dongeng putri tidur, sang tokoh utama tertidur lama karena ulah sang penyihir jahat.
Namun, dalam dunia nyata seseorang bisa tertidur lama karena adanya gangguan yang disebut sindrom putri tidur atau "sleeping beauty syndrome".
Baca juga: Penting untuk Bertahan Hidup, Ini 5 Organ yang Perlu Dijaga Fungsinya
Secara medis, sindrom ini juga dikenal dengan istilah "kleine-levin syndrome".
Sindrom ini tergolong langka dan bisa menyebabkan penderitanya merasa kantuk berlebihan sehingga penderita bisa tidur dalam hitungan hari, minggu, atau bahkan bulanan.
Orang yang mengalami sindrom ini bisa saja hanya terbangun untuk makan atau menggunakan kamar mandi.
Selain rasa kantuk yang ekstrim, penderita sindrom ini juga mengalami gejala berikut:
Gejala tersebut bisa terjadi sewaktu-waktu dalam episode tertentu. Sebagian besar penderita bisa beraktivitas normal usai mengalami episode kambuhnya gejala.
Akan tetapi, mereka tidak bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi saat gejalanya kambuh.
Belum diketahui pasti apa yang menyebabkan sindrom ini. Namun, beberapa ahli kesehatan percaya jika faktor tertentu bisa meningkatkan risiko sindrom ini.
Faktor risiko yang bisa menyebabkan sindrom putri tidur antara lain adalah gangguan hipotalamus, yang merupakan bagian otak pengontrol tidur, nafsu makan, dan suhu tubuh.
Gangguan hipotalmus bisaa terjadi karena jatuh atau cedera kepala.
Namun, ahli kesehatan juga menduga sindrom ini merupakan salah satu bentuk gangguan autoimun karena beberapa orang bisa mengalaminya setelah infeksi.
Baca juga: Susah Bernapas saat Tidur: Penyebab, Gejala, Cara Mengatasi
Para ahli belum menemukan pengobatan spesifik untuk mengatasi gangguan ini.
Kabar baiknya, ada beberapa metode yang bisa digunakan pasien untuk mengelola gejalanya, salah satunya dengan mengonsumsi obat.
Obat yang biasa digunakan untuk mengelola gejala penyakit ini antara lain obat stimulan, seperti modafinil, amfetamin atau methylphenidate.
Namun, obat-obatan ini tak bisa digunakan untuk mengatasi gangguan suasana hati yang menjadi bagian dari gejala sindrom ini.
Untuk mengatasi gangguan suasana hati yang menjadi efek dari sindrom ini biasanya menggunakan obat seperti lithium dan carbamazepine.
Selain itu, beberapa obat alternatif yang digunakan untuk menguji respon pasien antara lain obat antikonvulsan, fenitoin, yang tampaknya memicu respons positif pada beberapa pasien.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.