JAKARTA, KOMPAS.com – Sepintas, Aigis Arira (21) terlihat seperti mahasiswa pada umumnya. Kini, ia menempuh semester 7 jurusan di Institut Teknologi Harapan, Bandung. Tak ada yang menduga bahwa ia seorang penyandang disleksia.
Pada beberapa fase hidupnya, Aigis pernah mengalami masa-masa sulit. Saat ia dianggap memiliki hambatan belajar. Sesuatu yang menurutnya biasa-biasa saja. Tetapi, tak biasa bagi orang-orang sekitarnya. Saat menginjak kelas 3 SD, orangtuanya baru menyadari bahwa Aigis mengalami perkembangan yang berbeda dari anak-anak sebayanya. Ia menceritakan, awalnya, ia menempuh sekolah dasar di SD Cinere 03 pada tahun 1995-1997.
“Di sini, saya pribadi tidak merasakan kesulitan di dalam diri saya. Tetapi, di mata orang sekeliling saya, mereka berpendapat lain. Saya tidak bisa membedakan ‘b’ dan ‘d’ bahkan sering kebalik, menyalin suka salah, padahal saya duduk paling depan. Menghafal perkalian dan pembagian saya tidak bisa, menggambar kubus hasilnya bisa trapesium,” kisah Aigis, dalam sebuah seminar nasional mengenai disleksia, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Aigis juga mengalami hambatan dalam mengutarakan pendapatnya, sehingga berakibat ia malu bertanya dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya. “Sayangnya, tidak banyak yang mengetahui kondisi saya, bila orangtua saya tidak mencari info, maka mungkin sampai sekarang tidak akan tahu bahwa saya mempunyai sesuatu yang unik,” ujarnya.
Menyadari ada kekhususan yang dibutuhkan anaknya, orangtua Aigis kemudian memindahkannya ke sekolah khusus, SD Pantara, yang menangani anak-anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (specific learning difficulties/LD). Di sekolah ini, Aigis lebih merasakan kenyamanan karena mendapat penanganan khusus dan lingkungan yang lebih kondusif. Pendidikan dasarpun berhasil ditamatkannya.
Melanjutkan ke SMP Umum
Masa SMP dirasakan Aigis adalah masa terberatnya. Setamat SD, Aigis dan keluarganya hijrah ke Bandung. Disana, Aigis tak lagi mengenyam pendidikan di sekolah khusus. Ia kembali melanjutkan ke sekolah umum, SMPN 4 Cimahi. Pada masa SMP inilah, Aigis diberitahu oleh orangtuanya bahwa ia seorang penyandang disleksia. “Ketika SMP, orangtua saya baru menjelaskan bahwa kondisi saya seperti ini, seperti ini. Inilah titik terberat yang saya alami, karena harus sekolah di sekolah umum, beda dengan SD saya yang muridnya sedikit,” kata Aigis.
Ia pun harus beradaptasi. Dari semula di SD hanya memiliki teman 8 orang dalam satu kelas dengan dua guru, kini 44 orang orang dengan satu guru. “Waktu SMP, saya selalu memilih duduk di belakang karena takut ditanya guru,” ujarnya enteng.
Bagaimana prestasi belajarnya? “Saya ranking 44 dari 44 murid. Lumayanlah, ada rankingnya, daripada enggak ranking,” kata Aigis sambil tertawa. Tetapi, saat SMP ini, dorongan orangtua sangat kuat dirasakan Aigis. Ia diminta hanya mencatat seluruh pelajaran dan perkataan gurunya. “Saya belajarnya di rumah, dengan orangtua saya,” kata gadis hitam manis ini.
SMA Juara Mengetik 10 Jari