Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/10/2012, 06:26 WIB

Denpasar, KOMPAS.com — Gangguan kelenjar tiroid kerap tidak disadari karena tak ada gejala khusus. Padahal, jika tidak terdeteksi dan ditangani sejak dini, kelainan tiroid dapat menurunkan produktivitas dan kualitas hidup. Karena itu, masyarakat perlu mewaspadai kelainan tiroid.

Peningkatan kewaspadaan terhadap kelainan tiroid menjadi salah satu topik bahasan Asia Oceania Thyroid Association (AOTA) Congress di Bali, Senin (22/10/2012). Kongres yang berlangsung 22-24 Oktober diikuti para ahli endokrin dari negara-negara Asia Pasifik, termasuk Jepang dan Australia. Selain itu, dalam kongres tersebut, dibahas kemajuan terapi kelainan tiroid.

Dalam jumpa pers, Ketua Kongres AOTA Johan S Masjhur mengatakan, gejala kelainan tiroid sering tidak disadari. Karena itu, gejala tersebut cenderung diabaikan oleh masyarakat. Padahal, pemeriksaan kelainan tiroid dapat dilakukan di dokter umum.

Kelainan tiroid dapat dibedakan antara kelainan fungsi dan kelainan bentuk. Kelebihan hormon tiroid (hipertiroid) atau kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) termasuk kelainan fungsi. Adapun kelainan bentuk terlihat dari kelenjar yang membesar.

Umumnya, kelainan tiroid ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid, yang dikenal awam dengan gondok. Gejala utama hipertiroid, antara lain, turunnya berat badan meski banyak makan, keringat berlebihan, jantung berdebar-debar, dan mata menonjol. Hipertiroid dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan irama jantung, bahkan gagal jantung.

Adapun gejala hipotiroid di antaranya naiknya berat badan, pelupa, sering mengantuk walau cukup tidur, serta tidak tahan dingin. Wanita hamil perlu mewaspadai hipotiroid karena menyebabkan keterbelakangan mental pada bayi.

Pengalaman pasien

Pasien hipotiroid asal Bandung, Tatang Suryana (45), mengatakan, pada 24 tahun lalu ia menderita hipertiroid. Setelah ditangani dengan terapi radioaktif, gangguan yang diderita hilang. Namun, kini ia justru menderita hipotiroid sehingga harus mengonsumsi hormon tiroid seumur hidupnya.

”Setelah hipertiroid saya sembuh, saya tidak merasakan gejala apa-apa yang khusus. Yang saya rasakan saat itu mata saya terasa lebih menonjol, berat badan turun drastis, tidak tahan dingin, dan rasanya mengantuk terus,” kata Tatang.

Sementara pasien hipertiroid asal Denpasar, Bali, Jeslia Herawati (29), menuturkan, dirinya mengidap hipertiroid sejak di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, ia sering merasa jantungnya berdebar-debar, tekanan darah tinggi, dan susah tidur.

Semula, ia menduga sakit jantung, kemudian Jeslia merasa matanya kian menonjol dan mengganggu. Saat itulah hipertiroidnya mulai terdeteksi.

Johan, Guru Besar Endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, menambahkan, hipertiroid ataupun hipotiroid dapat ditangani dengan tiga cara, yakni minum obat, terapi hormon tiroid radioaktif, dan operasi. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau