Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/12/2013, 20:28 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Pembatalan pemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 dan 106 tahun 2013dinilai memberi napas lega bagi dunia kedokteran. Hal ini dikarenakan dunia kedokteran Indonesia kembali memiliki kesempatan mengembangkan diri dan bersaing dengan mutu pengobatan luar negeri.

“Kedokteran kita sesungguhnya bisa bersaing dengan dunia luar. Dengan dibatalkannya perpres, maka kita mendapat rangsangan untuk terus maju. Pembuktian kualitas ini nantinya akan menimbulkan kepercayaan pada baiknya pengobatan negeri sendiri,” kata Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, saat dihubungi KOMPAS Health pada Senin (30/12/2013).

Ali menambahkan, terkait mutu, kedokteran Indonesia sesungguhnya tidak pernah kalah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa luar negeri yang menimba ilmu kesehatan di Indonesia. Ali mengatakan, dalam setahunnya lebih dari 1.000 mahasiswa asal Timur Tengah, Asia, hingga Eropa mengikuti kuliah kedokteran di Indonesia.   

Sebelumnya, penandatanganan Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2013 dan 106 Tahun 2013 oleh Presiden tentang perizinan pejabat berobat ke luar negeri dinilai sebagai bukti ketidakpercayaan pada ilmu pengobatan bangsa sendiri. Padahal, kepercayaan sangat dibutuhkan supaya teknologi dan ilmu pengobatan dalam negeri bisa terus berkembang, hingga kemudian menandingi kualitas pengobatan luar negeri.

“Bagaimana bisa maju kalau tidak percaya ? Ilmu dan teknologi tenaga kesehatan bisa maju bila banyak praktik. Kalau kasusnya dibawa ke luar negeri semua ilmu kedokteran akan mundur karena tenaga kesehatan minim praktik, hingga akhirnya tidak lagi dipercaya,” kata Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Daeng Muhammad Faqih.

Menurut Daeng, hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat pejabat adalah figur publik bagi warga yang dipimpinnya. Segala tingkah laku pejabat diharapkan bisa dicontoh warga, termasuk untuk pengobatan. Bila pejabat lebih memilih pengobatan ke luar negeri, maka hal senada kemungkinan akan dilakukan rakyatnya.

“Padahal pengobatan kita tidak kalah. Kualitas dokter spesialis kita sebetulnya sama dengan Singapura dan negara Asia Pasifik lainnya, karena pengujinya sama,” kata Daeng.

Ujian dokter spesialis di Indonesia, kata Daeng, melalui tahap ujian komprehensif. Pada tahap ini dokter penguji tidak hanya berasal dari Indonesia atau perguruan tinggi tersebut. Penguji juga berasal dari fakultas kedokteran lain yang bekerja sama dengan perguruan tinggi tersebut, salah satunya dari kawasan Asia Pasifik. Hal ini menjadikan kualitas dokter Indonesia tidak kalah dengan produk luar negeri.  

Perpres tersebut, menurut Daeng, membuktikan pemerintah tak sensitif pada isu kesehatan. Pengobatan luar negeri bisa menghabiskan dana 3-5 kali lebih besar dibanding dalam negeri, belum termasuk biaya lain, misalnya penginapan. Dana ini tentu lebih bermanfaat bila digunakan untuk kemajuan pengobatan dalam negeri dibanding menjadi devisa di negara lain.

“Terlepas dari ketentuan pengobatan tersebut nantinya dibayar dari gaji pejabat sendiri, akan lebih baik bila dananya digunakan untuk kemajuan pengobatan Indonesia. Apalagi kita akan memasuki JKN 2014 yang masih perlu banyak perbaikan, terutama di tingkat layanan primer,” kata Daeng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau