Panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena takut atau khawatir tidak kebagian, harganya melambung, dan sebagainya.
Di awal pandemi, kita jamak melihat orang berbondong-bondong memborong masker dan hand sanitizer.
Setahun lebih berselang saat kurva kasus Covid-19 terus melonjak, giliran orang memborong beragam vitamin, obat, sampai susu.
Imbas sejumlah aksi borong tersebut membuat stok barang-barang buruan hilang di pasaran. Jika ada, harganya pun melambung tinggi.
Melansir BBC, kasus panic buying saat pandemi Covid-19 berbeda dengan aksi borong saat bencana alam.
Ketika menghadapi bencana alam seperti banjir atau selepas badai, orang masih punya pertimbangan logis ketika ingin membeli atau menyetok sesuatu.
Untuk kasus banjir misalnya, orang tergerak membeli banyak air mineral atau bahan pangan untuk persiapan krisis air bersih.
Lain halnya dengan pandemi Covid-19. Di tengah segala ketidakpastian, orang jadi memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar, padahal belum tentu dibutuhkan.
Ternyata, di balik aksi borong tersebut ada alasannya. Melansir Psychology Today, berikut beberapa alasan psikologi di balik panic buying saat pandemi Covid-19:
1. Pengambilan keputusan emosional
Saat mengambil suatu keputusan, ada dua cara berpikir yang biasa digunakan. Yakni keputusan logis dan emosional. Keduanya berbeda sistem berpikirnya.
Otak logis bisa menghitung dan menimbang dengan cermat sebelum mengambil keputusan. Sedangkan otak emosional bersifat intuitif, cepat, dan tanpa didasari pertimbangan matang.
Pikiran logis memberitahu pemiliknya untuk tidak perlu beli terlalu banyak barang. Tapi, otak emosional pertimbangannya lebih baik aman punya dulu daripada menyesal kemudian.
Pikiran emosional sangat sangat selaras dengan citra visual. Ketika bertebaran foto atau video berita orang jamak membeli atau memborong sesuatu, tanpa sadar pikiran emosional mengambil alih suatu keputusan.
2. Mengalami kecemasan antisipatif
Alasan panic buying lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian.
Misalkan, takut kehabisan susu atau obat tertentu, padahal produsen masih terus membuatnya.
Ketakutan antisipatif menghadapi pandemi setipe dengan rasa cemas ketika akan menerima hasil laboratorium selepas menjalani tes kesehatan.
3. Ketakutan itu menular
Sama seperti virus, ketakutan atau kecemasan panic buying juga menular. Jika seseorang khawatir kehabisan suatu barang, orang lain yang melihat sekitarnya panik jadi ketularan. Padahal awalnya tidak ada alasan rasional untuk takut.
Dari satu orang yang panik dan menulari sekitarnya, akhirnya muncul sekelompok orang yang spontan panik bersama-sama.
Alasan mereka panik juga tidak rasional. Jika orang lain memborong, kenapa saya tidak ikutan juga.
4. Mentalitas kelompok
Mentalitas kelompok adalah penyebab lain orang jadi ikut-ikutan panic buying. Sebagai makhluk sosial, manusia secara alami menafsirkan situasi berbahaya berdasarkan reaksi orang sekitarnya.
Ketika naluri komunal muncul, orang-orang berhenti mempertimbangkan sesuatu secara logis dan mulai mengambil keputusan seperti orang lain.
Tak pelak, ketika semua orang panik membeli sesuatu, orang lain juga jadi ikut-ikutan.
5. Gagal berdamai dengan ketidakpastian
Gagal berdamai dengan ketidakpastian artinya enggan menerima hal negatif di masa depan.
Akhirnya, kondisi seperti pandemi ini banyak melahirkan rasa frustasi bagi sebagian orang. Mereka tak siap menghadapi ketidakpastian yang akan terjadi di masa depan.
Intoleransi ini semakin tinggi, terutama bagi orang yang sebelumnya punya gangguan kecemasan, atau sering mengkhawatirkan remeh-temeh.
6. Rasa kontrol berlebihan
Sejumlah orang punya kecenderungan ingin selalu bisa mengendalikan situasi. Kontrol tersebut diharapkan bisa membuahkan hasil.
Kecenderungan ini membuat sebagian orang gemar panic buying saat menghadapi pandemi Covid-19.
Dengan membeli banyak barang sekaligus yang sedang dibutuhkan orang banyak, orang tersebut jadi punya rasa bisa mengendalikan sesuatu.
https://health.kompas.com/read/2021/07/04/103100068/6-alasan-psikologi-di-balik-panic-buying-saat-pandemi-covid-19