Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cedera Olahraga, Pentingnya “Sedia Payung Sebelum Hujan” Bagi Atlet

Tanpa penanganan medis tepat, cedera bisa berujung fatal, atau meninggalkan cacat permanen yang tak jarang memutus karier para penyintas di dunia olahraga profesional.

Berikut kisah mereka yang pernah mengalami cedera olahraga.

Gantung sepatu karena cedera lutut

Mantan pesepakbola profesional yang kerap wara-wiri di ajang kompetisi Liga Indonesia medio 1990-an sampai 2000-an Agus Supriyanto membagikan pengalaman pentingnya atlet menyiapkan diri untuk menghadapi cedera.

Ia pernah memperkuat skuat Persija, Barito Putera, Petromikia Putera, Persekaba Badung, Persegi Gianyar, sampai Persikad Depok.

Selain itu, Agus juga pernah menjajal beberapa turnamen internasional saat bergabung dengan Timnas Indonesia U-16 dan U-18.

Agus memutuskan pensiun sebagai pemain bola profesional setelah mengalami cedera lutut kanan di usia 30 tahun, pada 2006 lalu.

“Pas main untuk Persegi Gianyar waktu itu, lutut kanan saya kedengklok,” kata Agus, ketika berbincang dengan Kompas.com, Jumat (10/9/2021).

Cedera lutut yang dialami Agus dalam dunia kesehatan dikenal dengan sprain (terkilir). Biasanya, kondisi ini disebabkan regangan berlebihan atau robekan pada penghubung antar-tulang (ligamen).

Menurut Agus, semasa ia cedera, akses kesehatan masih eksklusif. Kala itu, tak banyak atlet yang difasilitasi asuransi kesehatan, termasuk dirinya.

“Atlet zaman dulu kena ligamen, selesai. Langsung dicoret,” beber dia.

Seperti kebanyakan atlet yang cedera pada masanya, saat cedera Agus sempat bingung karena minimnya informasi kesehatan. Selain itu, ia juga khawatir dengan ongkos berobat yang mahal.

Alhasil, ia sesekali berobat ke dokter di awal cedera. Ia juga bolak-balik pijat ke beberapa kota di Jawa Tengah sampai Jawa Timur.

Selain itu, ia latihan olahraga ringan mandiri seperti bersepeda atau berenang untuk membantu proses pemulihan sakitnya.

Cedera olahraga membuatnya mandek beraktivitas selama nyaris setengah tahun.

Setelah pulih, Agus yang sejak muda sudah menyisihkan sebagian penghasilannya untuk persiapan pensiun, mantap gantung sepatu sebagai atlet profesional.

Ia memilih fokus menekuni bisnis konveksi, alat olahraga, dan membangun sebuah indekos sebagai ladang penghidupan.

Kini, di sela-sela kesibukannya menjalani wirausaha, bapak dua anak ini menyempatkan diri untuk berinvestasi di bidang kesehatan dengan rutin berolahraga.

Agus rutin mengawali harinya dengan joging. Seminggu sekali sampai dua kali, ia juga berenang atau bersepeda.

Salah satu tempat jujukan-nya yakni Umbul Pelem Klaten yang ditempuh selama 30 menit dari tempat tinggalnya di Sukoharjo.

Untuk mengobati kerinduannya pada lapangan sepakbola, ia sesekali juga ikut main tarkam di Soloraya. Namun, ia memilih untuk tidak ngoyo. Begitu dengkulnya mulai ngilu-ngilu, Agus memilih untuk rehat.

“Jadi pemain bola memang harus siap dengan segala risikonya, termasuk cedera. Yang paling penting, persiapan,” pesan dia.

Habis satu rumah untuk ongkos cedera olahraga

Kisah lain datang dari atlet disabilitas M. Habib Shaleh. Sosok yang telah menorehkan prestasi di beberapa cabang olahraga kompetisi level lokal sampai internasional ini pernah mengalami cedera sampai koma selama 32 hari.

Habib, sapaan akrabnya, semula merupakan striker tim sepakbola Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Jawa Tengah non-difabel.

Pada 2006 ketika sedang menjalani latihan pertandingan, perut Habib terhantam tubuh kiper tim lawan sehingga usus buntunya pecah.

Setelah itu, ia diboyong ke salah satu rumah sakit di Salatiga untuk mendapatkan penanganan medis darurat dan dioperasi.

Kelar operasi, kondisi tubuhnya drop. Ia koma dan diarahkan mencari layanan kesehatan lanjutan di Semarang.

Total, ia menjalani tiga kali operasi. Ketika sadar dari koma di hari ke-32, ia bangun dengan penyakit lumpuh otak atau cerebral palsy.

“Sadar dari koma saya enggak bisa apa-apa. Kayak bayi baru lahir. Enggak bisa jalan. Enggak bisa ngomong,” kenang Habib, ketika berbincang dengan Kompas.com, Senin (13/9/2021).

Proses pemulihan cedera olahraga Habib berjalan lebih dari setahun. Putra sulung pasangan Siti Istiqomah dan Tri Suwarso ini dibantu dokter untuk menjalani terapi gerak. Sedangkan untuk terapi wicara, ia dibantu guru SLB.

“Sebulan pertama setelah terapi, saya langung bisa jalan. Rasanya kayak mukjizat. Dari situ saya jadi punya spirit kuat dari dalam diri untuk bangkit,” kata dia.

Untuk mengongkosi pemulihan cedera olahraga berujung penyakit lumpuh otak, Habib kala itu dibantu Askes dan bantuan dari Gubernur Jawa Tengah.

Namun, keluarga Habib juga merogoh kocek pribadi yang cukup besar untuk berobat dan tetek bengek selama proses pemulihan.

“Satu rumah habis buat saya sakit waktu itu,” beber Habib.

Kendati sempat mengalami “kecelakaan” fatal dalam olahraga, namun tak ada kekhawatiran bagi Habib untuk kembali berlaga di bidang kompetisi olahraga.

Ia justru menemukan semangat, peluang, dan tantangan baru di dunia olahraga disabilitas.

Tak tanggung-tanggung, ia menjajal beberapa cabang olahraga seperti paraatletik, sepakbola 7x7, serta paracycling di medan kompetisi lokal sampai internasional.

“Sekarang saya lebih berhati hati dan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi yang ada. Saya juga rutin investasi kesehatan dengan rutin latihan,” kata bapak tiga anak ini.

Banting setir atau lanjut berkarier setelah cedera olahraga memang pilihan masing-masing. Namun, yang paling penting, persiapkan segala sesuatunya, termasuk risiko kesehatan.  

https://health.kompas.com/read/2021/09/16/140100568/cedera-olahraga-pentingnya-sedia-payung-sebelum-hujan-bagi-atlet

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke