BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan STPI
Salin Artikel

Ketahui Seluk-beluk TBC untuk Setop Penularannya di Indonesia

KOMPAS.com – Tuberkulosis atau TBC merupakan salah satu penyakit yang mengintai masyarakat Indonesia. Pasalnya, penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini menjadi penyebab utama kematian ke-13 di dunia.

Berdasarkan “WHO Global TB Report 2020”, 10 juta orang di dunia menderita TBC dan sebanyak 1,5 juta orang meninggal setiap tahun. Indonesia sendiri menjadi negara penyumbang kasus TBC ketiga terbesar di dunia.

Dalam laporan tersebut, Indonesia diperkirakan memiliki 824.000 kasus infeksi TBC dengan angka kematian mencapai 38.000 kasus.

Namun, angka tersebut berhasil ditekan pada 2021. Dilansir dari laman TB Indonesia, hingga Oktober 2021, terdapat 824.000 kasus TBC di Indonesia dengan 13.110 kasus kematian.

Meski mengalami penurunan, TBC masih menjadi penyakit endemik dan menghantui masyarakat Indonesia. Pada masa pandemi Covid-19, TBC pun masih menjadi ancaman bagi banyak orang.

Adapun penyakit TBC menginfeksi organ paru-paru dan mudah menular dari pasien ke orang di sekitarnya. Jika tidak diobati, TBC dapat memicu komplikasi serta kerusakan paru-paru permanen dan mengancam jiwa.

Gejala dan penyebab TBC

Banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi bakteri penyebab TBC. Mereka juga menganggap remeh gejala yang dirasakan.

Dilansir dari Mayoclinic.org, gejala TBC meliputi batuk selama tiga minggu atau lebih, batuk berdarah atau berlendir, nyeri dada saat bernapas atau batuk, penurunan berat badan, kelelahan, demam, berkeringat saat malam hari, tubuh panas dingin, serta kehilangan selera makan.

Namun, tidak semua orang yang mengidap TBC memiliki gejala-gejala tersebut. Orang yang mengidap TBC laten biasanya tidak memiliki gejala. Hal ini dikarenakan kondisi imun tubuh yang kuat.

Meski demikian, TBC laten dapat berubah menjadi TBC aktif dan menyebar kepada orang lain. Penularan TBC dapat terjadi melalui udara. Sebagai informasi, Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan di udara selama beberapa jam.

Artinya, orang dapat terinfeksi penyakit TBC setelah menghirup udara yang diembuskan pasien TBC melalui batuk, bersin, tertawa, dan aktivitas bernyanyi.

Biasanya, tubuh baru merasakan gejala TBC pada dua sampai 12 minggu setelah terpapar. Bahkan, risiko untuk mengembangkan penyakit ini paling tinggi dalam kurun waktu dua tahun sejak terinfeksi.

Seseorang dapat tertular penyakit TBC ketika berada terlalu dekat berinteraksi dengan pasien. Beberapa orang dengan faktor risiko juga lebih rentan tertular TBC, seperti anak kecil, orang dengan usia di atas 60 tahun, perokok, pasien penyakit autoimun, diabetes, ginjal, HIV, dan orang yang tengah menjalani kemoterapi.

Deteksi dini dan putus rantai penularan

Dengan risiko mudah menular hingga kematian, TBC merupakan penyakit yang perlu diwaspadai. Maka dari itu, penting untuk mendeteksi penyakit tersebut sedini mungkin.

Bagi seseorang yang memiliki gejala, terutama batuk selama 14 hari atau lebih, sebaiknya segera melakukan pemeriksaan. Begitu juga dengan mereka yang memiliki riwayat berinteraksi dengan pasien TBC.

Pemeriksaan paru-paru dapat dilakukan di fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Biasanya, gangguan kesehatan tersebut dapat diketahui lewat tes dahak secara mikroskopik, tes cepat molekuler, dan rontgen untuk mendukung pertimbangan klinis.

Jika sudah terdiagnosis TBC, pasien pun diharuskan menjalani pengobatan intensif. Terapi pengobatan TBC umumnya berlangsung selama enam sampai sembilan bulan. Selama periode tersebut, pasien TBC harus rutin melakukan pemeriksaan medis supaya dokter dapat memantau kemajuan pengobatan.

Dalam mencegah penularan TBC di masyarakat, pemerintah juga bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk memberikan sosialisasi mengenai penyakit paru-paru ini. Salah satunya dilakukan oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI) yang mendukung Kementerian Kesehatan melakukan kampanye komunikasi digital, #141CekTBC.

Melalui kampanye tersebut, STPI mengajak seluruh masyarakat Indonesia lebih peduli terhadap gejala-gejala awal TBC dan melakukan pemeriksaan di faskes serta mengobatinya sampai tuntas.

Direktur Eksekutif STPI Dr Henry Diatmo mengatakan bahwa masyarakat sudah mengenal gejala Covid-19 dan mulai memperhatikan isu kesehatan selama pandemi. Hal ini dapat mendorong perilaku masyarakat untuk mencari pelayanan kesehatan yang tepat.

“Kami berharap, kampanye #141CekTBC dapat mendorong kesadaran baru bahwa jika batuk tidak reda dalam 14 hari atau lebih, (berarti) sudah waktunya untuk melakukan pemeriksaan dokter,” ujar Henry dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (17/2/2022).

Kampanye yang diselenggarakan secara digital tersebut dilengkapi dengan berbagai fitur yang memudahkan masyarakat mengetahui risiko dan gejala TBC dalam tubuhnya.

Masyarakat bisa memanfaatkan fitur chatbot 141CekTBC yang akan segera hadir di situs web 141.stopbtindonesia.org.

Pada situs web tersebut, masyarakat juga dapat tersambung langsung dengan dokter melalui platform e-health dan mengetahui lokasi faskes terdekat.

Selain itu, terdapat fitur Pengingat 141CekTBC yang dapat membantu masyarakat menandai berapa lama gejala batuk yang dialami sudah berlangsung. Jika mencapai hari ke-14, akan ada pengingat untuk memeriksakan diri ke dokter. Tujuannya, agar masyarakat segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Kampanye komunikasi digital #141CekTBC diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia mencapai taraf kehidupan yang lebih sehat dan baik lagi.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai #141CekTBC, silakan kunjungi situs web berikut ini. Bisa juga mengikuti Stop TB Partnership Indonesia melalui akun Instagram, Twitter, dan Facebook.

https://health.kompas.com/read/2022/02/21/100300868/ketahui-seluk-beluk-tbc-untuk-setop-penularannya-di-indonesia

Bagikan artikel ini melalui
Oke