KOMPAS.com – Penyakit asma memiliki gejala khas berupa batuk, mengi, hingga rasa sesak yang membuat penderitanya sulit bernapas saat terjadinya serangan. Kekambuhan asma ini biasanya dipicu karena sensitif terhadap paparan alergen dan polutan.
Obat inhaler atau pelega SABA (Short Action Beta Agonist) menjadi andalan pengidap asma. Obat ini dihirup melalui mulut dan bekerja dengan melebarkan saluran napas yang menyempit sehingga pengidap asma bisa dapat bernapas lega.
Meski demikian, inhaler tersebut hanya membantu saat terjadi serangan. Jika terpapar alergen maka asma akan kambuh lagi. Saat ini obat inhaler SABA tidak dianjurkan digunakan dalam jangka panjang karena lebih mungkin terjadi kekambuhan.
“Memakai inhaler hanya meredakan gejalanya saja, jadi berisiko besar untuk kambuh kembali,” jelas dokter spesialis paru Yanuar Fajar, dalam acara Media Talkshow yang digelar AstraZeneca di Jakarta, 10 Mei 2023.
Ditambahkan oleh Direktur Medis AstraZaneca, Valentino Feddy, obat inhaler jenis SABA tidak dapat mengatasi peradangan (inflamasi) yang merupakan penyebab asma.
“Penggunaan inhaler SABA itu bagaikan menutup jalanan yang berlubang dengan papan. Artinya, hanya menutupi gejalanya sesaknya saja, masalah intinya yaitu inflamasinya, itu tetap ada,” katanya dalam acara yang sama.
Dokter Yanuar menjelaskan, pemakaian inhaler juga dapat menimbulkan ketergantungan.
“Orang ketika menggunakan inhaler SABA dia akan merasa lega dan enak. Jadi, setiap merasa sesak, dia akan menggunakan inhaler terus,” ujarnya.
Berdasarkan laporan strategi GINA (Global Initiative for Asthma) 2022 menunjukkan bahwa ketergantungan pada inhaler SABA dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, rawat inap akibat asma, hingga kematian. Sehingga, penggunaan obat hanya dengan menggunakan inhaler SABA tidak lagi direkomendasikan.
Sebagian masyarakat mengganggap penggunaan inhaler SABA dapat menyembuhkan dan mengobati masalah asma. Padahal, diperlukan obat pengontrol jangka panjang yang dapat mengatasi inflamasi sehingga dapat mencegah serangan asma.
“Asma itu kan penyakit yang tidak bisa sembuh, namun bisa dikontrol. Nah, salah satu caranya adalah dengan memberikan obat pengontrol atau inhaler yang mengandung ICS,” jelas dokter Yanuar.
Obat asma yang tepat
Kortikosteroid inhalasi atau ICS merupakan obat antiradang yang efektif untuk pengobatan asma.
Menurut dr. Yanuar, penggunaan obat ICS secara teratur mampu mengontrol asma dan meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
“Sebagai pengganti inhaler SABA, pasien asma harus mendapat pengobatan yang mengandung ICS, misalnya ada kombinasi obat ICS-Formoterol yang dapat mengurangi serangan asma,” paparnya.
Jika asma dalam kondisi belum terkontrol, maka pasien biasanya harus mengonsumsi obat pengontrol ICS dua kali sehari.
Selain konsumsi obat pengontrol, dr. Yanuar juga menyarakan penderita asma untuk melakukan Asthma Control Test (ACT) rutin setiap bulan.
“Penderita asma juga sebaiknya melakukan Asthma Control Test setiap bulan ke dokter untuk memastikan kondisi asmanya terkontrol. Jadi, pengobatan asma itu bukan pengobatan instan yang dilakukan saat serangan asma-nya muncul saja” katanya.
https://health.kompas.com/read/2023/05/10/180600868/cegah-ketergantungan-obat-inhaler-asma