Jakarta, KOMPAS -
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno mengungkapkan hal itu pada diskusi ”Dekriminalisasi Anak”, Jumat (31/7) di Jakarta. ”Dengan kenyataan ini, tak pelak Amnesty Internasional dalam laporan periode 2008/2009 mengatakan unfinished business police accountability in Indonesia,” katanya.
Supeno menjelaskan, sensitivitas aparat hukum terhadap perlindungan anak sangat rendah. Yang terjadi bukan perilaku petugas yang sensitif anak, tetapi perilaku yang mengidap penyakit kekanak-kanakan. Polisi menganggap anak-anak adalah orang dewasa dalam bentuk kecil sehingga semua jenis hukuman bagi orang dewasa dikenakan.
”Mereka bukan tidak tahu UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan arah bagaimana aparat hukum memberi perlindungan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum,” ujar Supeno.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Muhammad Joni yang menganalisis Undang-Undang Pengadilan Anak mengatakan, mengadili anak—dalam kasus 10 anak di bawah umur di Pengadilan Negeri Tangerang—dengan Pasal 303 KUHP amat janggal dan ajaib. Pasal itu mensyaratkan ”mata pencarian” alias pekerjaan.
Ia juga mempersoalkan batas usia tanggung jawab pidana anak yang amat rendah, yakni delapan tahun. Suatu perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku karena harus ada unsur ”pihak lain yang bertanggung jawab”.
”Kriminalisasi anak dalam usia amat muda melanggar hak hukumnya. Tak logis dibandingkan logika hukum negara lain, atau peraturan nasional lainnya,” tutur Joni. Soal usia ini dibahas panjang. Usia 8-15 dinilai masih kategori anak-anak sehingga belum bisa diadili. Namun, ada kasus narkoba pelakunya berusia 15 tahun. ”Mereka akan dengan gampang direkrut menjadi pengedar karena bebas dari ancaman hukum,” lanjutnya.