Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naikkan Cukai Setinggi Mungkin!

Kompas.com - 28/10/2009, 19:47 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Jika pemerintah ingin serius memerangi rokok, minimal dua hal harus dilakukan s ecara serentak, yakni menaikkan cukai rokok hingga menjadi amat tinggi, serta menentukan harga terendah dan tertinggi rokok. Intinya, harga rokok harus sangat mahal. Jika tak serius memerangi rokok, Indonesia jangan berharap mampu menggapai MDGs pada tahun 2015 mendatang.

"Naikkan cukai setinggi mungkin, kalau perlu minimal 65 persen," ujar Sonny Harry B Harmadi, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia, dalam Seminar Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Pengendalian Konsumsi Rokok, Rabu (28/10), di Hotel Santika Premiere Jogja.

Selain menaikkan cukai, pemerintah mesti berani menentukan harga terendah dan tertinggi rokok namun selisih rupiahnya tipis. Rokok dalam hal ini mencakup semua kriteria, mulai dari rokok kretek, rokok filter, cerutu, lintingan, hingga tembakau.

Dua faktor tersebut bakal membuat harga rokok murah dan rokok mahal akhirnya menjadi amat mahal. Selisih harga antara rokok murah dan mahal yang tipis, akan membuat perokok kelabakan. Namun itu perlu dilihat sebagai upaya melindungi masyarakat.

"Sekarang, harga rokok masih terjangkau, satu bungkus sejauh penelusuran saya hanya Rp 2.000-16.000 . Ketika cukai dinaikkan sedikit dan cukai antarrokok tak seragam, orang tetap terus merokok. Tak kuat membeli rokok mahal, yang dibeli ya rokok murah. Jumlah perokok, akhirnya tak berkurang," ujarnya.

Tulus Abadi, Ketua Bidang Advokasi Komite Nasional Pengendalian Tembakau yang juga menjadi pembicara seminar, mengemukakan, cukai rokok di Indonesia sekitar 37 persen. Ini amat rendah jika dibandingkan rata-rata cukai internasional yakni 60-75 persen. Bahkan cukai di Indonesia terendah nomor dua sedunia setelah Kamboja.

Tiap tahun, penerimaan negara dari cukai rokok Rp 42 triliun. Namun, lanjut Tulus, bahaya multi sektor (kesehatan, ekonomi, sosial) akibat rokok mencapai minimal 5,1 kali lipat. Di Indonesia, tiap tahun, 423.000-an orang meninggal akibat rokok, atau 1.170-an orang tiap hari. Penduduk miskin, menurut Ayke Soraya K, peneliti Lembaga Demografi UI, adalah segmen terbesar rokok. Artinya, kemiskinan bukan rintangan bagi penduduk miskin untuk merokok. Kondisi ini amat mencemaskan, karena bertautan dengan banyak hal.

Ketimbang untuk rokok, uang sebenarnya bisa untuk biaya pendidikan anak, perbaikan makan, dan menabung. Orang yang merokok, misalnya laki-laki kepala rumah tangga, akan memberi risiko kesehatan bagi istrinya yang hamil, juga sang anak. "Ingat, anak baru kelihatan terkena dampak dari ayahnya yang perokok, saat si anak beranjak lepas dari balita," kata Ayke. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com