Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Deteksi Dini demi Cegat Kanker Payudara

Kompas.com - 15/01/2010, 08:47 WIB

Oleh Indira Permanasari

Beberapa perempuan mengenakan baju pemeriksaan semacam kimono pendek silih berganti memasuki ruang Deteksi Dini Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.

Perempuan-perempuan tersebut baru saja selesai menjalani pemeriksaan kesehatan payudara mereka. Salah satunya adalah Ny Oni (56), warga Cipulir, Jakarta Selatan. Sebelumnya, perempuan tersebut rajin memeriksa payudara sendiri sampai suatu hari teraba sebuah benjolan kecil di payudara kanannya.

”Saya langsung ke dokter dan katanya tidak ada apa-apa,” ujarnya. Beberapa bulan kemudian, karena tidak puas, Ny Oni langsung meminta rujukan dari dokter yang sama guna menjalani mamografi. Lewat alat itu juga tidak terdeteksi adanya kelainan. Terganggu oleh benjolan yang dirasakannya, dia memutuskan pergi ke unit Deteksi Dini RS Kanker Dharmais. Di rumah sakit tersebut dia menjalani pemeriksaan oleh dokter, mamografi, dan ultrasonografi (USG).

Menunggu hasil pemeriksaan, hati Ny Oni diliputi kekhawatiran. ”Kalau memang ada penyakit, lebih baik segera ketahuan. Semakin lama menunggu malah sulit penyembuhannya dan biayanya juga besar,” ujarnya.

Ny Oni barangkali hanya segelintir dari perempuan yang sadar akan kesehatan payudaranya. Dalam survei yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta selama tahun 2004-2005, hampir 80 persen responden menyatakan belum mengerti pentingnya check up payudara. Tidak terlalu mengherankan jika sekitar 70 persen pasien datang dengan stadium tiga atau empat.

Skrining dan deteksi dini sebetulnya tidak berbicara hanya soal kecurigaan terhadap penyakit tertentu, seperti kanker, melainkan juga pemeliharaan kesehatan payudara secara keseluruhan. Hal itu terutama bagi mereka yang berisiko tinggi, antara lain kelebihan berat badan, berusia di atas 40 tahun, ada saudara yang terkena kanker payudara, dan perokok. Kasus kanker payudara cenderung meningkat 0,5 persen hingga 3,0 persen setiap tahun di semua negara, baik di negara maju maupun sedang berkembang.

Di tengah kondisi tersebut, Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta Sutjipto mengatakan, skrining dan deteksi dini kanker merupakan rangkaian program penting karena meningkatkan angka survival dan menurunkan angka kematian. Sistem deteksi dini dan skrining yang baik setidaknya menurunkan stadium temuan kanker di masyarakat.

Mamografi masih merupakan standar emas untuk deteksi dini kanker payudara. Layanan itu terutama bagi perempuan berusia di atas 35 tahun yang tidak sedang hamil atau menyusui. Spesialis radiologi dari RS Kanker Dharmais, dr Kardinah, mengatakan, dengan mamografi (proses pemeriksaannya menggunakan sinar-X dosis rendah), dapat dideteksi kanker dengan diameter 0,2 sentimeter.

Di negara berkembang seperti Indonesia, mamografi secara massal masih barang mahal. Untuk individu, sejumlah rumah sakit besar memberikan pelayanan tersebut dengan biaya Rp 150.000-Rp 400.000. Bagi masyarakat miskin, itu masih terhitung mahal.

Layanan mamografi juga belum tersedia secara merata di semua daerah dan hanya di rumah sakit tertentu. Gambaran memprihatinkan itu disampaikan anggota DPRD DKI Jakarta, Wanda Hamidah. Pada awal masa kerjanya sebagai anggota DPRD, Wanda berkeliling mengunjungi enam rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jakarta. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui rumah sakit selevel RSUD di kota besar seperti Jakarta tidak satu pun mempunyai alat mamografi yang beroperasi.

Walaupun kapasitasnya masih terbatas, sejumlah lembaga seperti Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta dan RS Kanker Dharmais mempunyai unit mamografi keliling. Unit tersebut umumnya memenuhi panggilan instansi, kantor, masuk kawasan perumahan, dan organisasi masyarakat yang ingin mengadakan pemeriksaan payudara massal. Selain itu, dengan bantuan donatur, terkadang diadakan pula pemeriksaan gratis.

Sutjipto mengatakan, kendala penanganan kanker payudara antara lain belum adanya program deteksi massal yang terorganisasi secara maksimal. Dia mencontohkan, di Jepang, misalnya, sudah ada sistem skrining yang terpadu dengan dinas kependudukannya.

”Begitu perempuan memasuki usia 40 tahun, mereka diberi pemberitahuan untuk skrining dan diberi voucer gratis pemeriksaan. Di Indonesia, jika tidak ada uang, setidaknya ada sistem peringatan itu ketimbang menghabiskan ratusan juta rupiah untuk mengobati kanker stadium lanjut,” ujarnya.

Seorang pasien Sutjipto mengeluarkan dana Rp 827 juta untuk penanganan kanker payudara stadium IV yang sudah menyebar ke lever dan paru-paru. Pasien itu bertahan, tetapi kualitas hidupnya sudah buruk sekali.

Sistem penanganan

Kepala Subdirektorat Penyakit Kanker Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Rini Noviani mengatakan, pihaknya tengah membuat model penanggulangan kanker secara komprehensif. Terdapat uji coba di enam puskesmas di enam provinsi.

Pencegahan primer dilakukan dengan mempromosikan gaya hidup sehat, sedangkan pencegahan sekunder berupa suatu rangkaian. Ketika pasien datang ke puskesmas, dilakukan konseling dan pemeriksaan payudara oleh petugas, yaitu bidan atau dokter puskesmas terlatih.

Jika terdapat benjolan, pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat di kabupaten. Untuk program berkelanjutan, sedang diupayakan sarana USG di rumah sakit tingkat kabupaten. USG berguna untuk mendeteksi adanya batasan-batasan tumor yang akan sangat bermanfaat dalam pembedahan.

Guna memperluas jangkauan mamografi, diupayakan unit keliling. ”Karena keterbatasan dana, akan diusahakan setidaknya satu regional, sekitar empat kabupaten, terdapat satu unit mamografi dan USG diikuti dengan pelatihan bagi dokter radiologi. Setidaknya di satu kawasan terdapat pusat mamografi,” ujar Rini.

Pihaknya juga tengah mempelajari sebuah metode skrining yang berhasil diterapkan di Taiwan. Di negara tersebut dilakukan pemeriksaan klinis payudara oleh tenaga medis (clinical breast examination) yang dilanjutkan dengan pengisian kuesioner oleh pasien yang tidak memiliki benjolan. Terdapat sistem skor yang menentukan apakah perempuan itu berisiko tinggi, sedang, atau rendah.

Mereka yang berisiko sedang dan tinggi akan diminta melakukan mamografi. ”Model ini tampaknya akan sesuai juga untuk Indonesia yang terbatas sumber dayanya sehingga sulit menerapkan mamografi secara luas,” ujarnya.

Dengan berbagai keterbatasan tersebut, peran dan kesadaran perempuan melakukan pemeriksaan payudara sendiri (Sadari) juga perlu dibangun. Sadari dilakukan sendiri oleh perempuan dengan meraba payudara untuk memastikan tidak ada tanda-tanda kelainan. Dengan Sadari teratur, kanker masih dapat ditemukan dalam diameter 1,2 sentimeter. Sementara dengan Sadari yang tidak teratur, kanker dapat ditemukan dengan diameter 2,5 sentimeter. Jika perempuan tersebut kurang terampil melakukannya, kanker yang ditemukan diameternya lebih besar lagi, biasanya sekitar 3,5 sentimeter.

Dokter dan bidan puskesmas menjadi ujung tombak untuk pemeriksaan klinis payudara sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai kesehatan payudara agar si pengganggu terdeteksi sejak dini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com