Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Belum Mampu Kendalikan Harga Obat

Kompas.com - 07/04/2010, 07:13 WIB

Jakarta, Kompas - Sekalipun telah menyadari begitu bervariasinya harga obat, pemerintah belum mampu sepenuhnya mengendalikan harga obat, khususnya obat generik bermerek dagang.

Hal itu terungkap dalam diskusi panel bertajuk ”Obat Mahal; Siapa yang Bertanggung Jawab?” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Selasa (6/3). Sejauh ini, terdapat 13.000 macam obat yang beredar di Indonesia. Obat generik bermerek dagang di pasaran harganya dapat mencapai 12 kali lipat dari harga obat generik dengan nama International Nonproprietary Name (INN) untuk jenis obat yang sama.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, pemerintah tidak dapat mengatur harga obat generik bermerek dagang di pasar karena tidak ada landasan hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pengaturan harga obat, tetapi baru sebatas obat generik dengan INN.

Pada tahun 2006, ada 385 item obat yang harga eceran tertingginya ditetapkan dan jumlahnya terus bertambah hingga 453 item tahun 2010. Khusus obat generik bermerek dagang, pemerintah sebatas mengendalikan di fasilitas kesehatan pemerintah. Jika obat generik tidak tersedia, fasilitas kesehatan pemerintah dapat menggunakan obat generik merek dagang dengan harga maksimal tiga kali lipat harga obat generik dengan INN.

Formularium Jamkesmas merupakan bentuk pengendalian lainnya. Dengan penerapan kebijakan pengendalian harga obat lewat pembiayaan kolektif berkesinambungan, pemerintah mempunyai kekuatan tawar. Hal itu karena pemerintah dapat menghimpun kebutuhan obat yang besar. ”Obat generik sebetulnya merupakan potensi besar jika dibeli dengan jumlah besar,” ujar Sri.

Ketersediaan

Penyediaan obat generik pun bukan perkara mudah. Ketersediaan obat generik rata-rata 12,8 bulan. Padahal, idealnya 18 bulan sehingga ketersediaan terjamin saat proses pengadaan berlangsung. ”Di Indonesia timur, ketersediaan obat rata-rata 10,4 bulan. Obat bisa berbulan-bulan kosong sampai pengadaan berikutnya,” ujarnya.

Ke depan, pemerintah tidak hanya memikirkan menurunkan harga obat serendah-rendahnya, tetapi juga keberlangsungan produksi obat. ”Kami ingin mendorong industri membuat obat generik,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, faktor pemicu tingginya harga obat, antara lain, adalah karena masyarakat masih membiayai kesehatan langsung dari kantong sendiri. Akibatnya, posisi tawar masyarakat menjadi rendah. Untuk mengatasi mahalnya harga obat, dibutuhkan sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang baik.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, Sistem Jaminan Sosial Nasional, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan dengan model asuransi, dapat mengefektifkan pembiayaan kesehatan, termasuk obat. Akses dan ketersediaan obat pun menjadi lebih terjamin karena adanya kepastian pasar. (INE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com