Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Residu Pestisida Masih Jadi Masalah

Kompas.com - 05/07/2010, 04:45 WIB

Kepala Laboratorium Pestisida Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Sumut Eli Martona menyatakan, saat ini sangat kecil kemungkinan ada sayuran dari dataran tinggi Karo yang melebihi ambang batas residu pestisida. ”Kami mengecek secara acak dua kali setiap bulan. Sampel sayurannya langsung diambil dari petani,” kata Eli.

Laboratorium Pestisida BPTPH Sumut sudah mengantongi sertifikasi internasional dan diakui lembaga seperti Agri-food and Veterinary Authority (AVA) Singapura. ”Kami sudah pernah mengundang AVA untuk datang ke Sumut,” kata Roem.

Ekspor sayuran dari dataran tinggi Karo merupakan bagian mata rantai kehidupan pertanian di sana. Eksportir hanya salah satu mata rantainya. Petani sayuran, pengusaha ekspedisi dan buruhnya, serta buruh tani di ladang dan gudang eksportir merupakan mata rantai lain, yang ikut terpukul ketika isu residu pestisida membuat anjlok volume ekspor sayuran dari dataran tinggi Karo. Dampaknya masih terasa hingga kini.

Diakui, maraknya ekspor sayuran saat itu mendongkrak penyerapan tenaga kerja di sektor itu. Reman mencontohkan, sebelum tahun 2000 ia mempekerjakan 80 buruh di gudangnya, tetapi sekarang tinggal 25 buruh. ”Dulu per bulan saya keluar Rp 36 juta untuk gaji pekerja, sekarang paling banyak Rp 15 juta.”

Peran pemerintah

Saat isu residu pestisida bukan lagi halangan, masalah baru kini menghadang para eksportir. Di dalam negeri, penanganan sayuran ekspor di Pelabuhan Belawan maupun Teluk Nibung Tanjung Balai kerap telat. Crane rusak hingga ketiadaan fasilitas gudang pendingin (cold storage) mengancam kualitas sayuran. ”Kadang kalau crane rusak, sayuran bisa tertahan 4 hari di Belawan. Sampai Malaysia dan Singapura sayuran jelas rusak. Pembeli mengklaim kerusakan tersebut ke kami,” kata Kasman.

Lambatnya penanganan di pelabuhan hingga 12 hari membuat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumut Riadil Akhir Lubis tak habis mengerti. Padahal, Pelabuhan Belawan sudah menerapkan sistem national single window (NSW) untuk kelancaran arus keluar masuk barang.

Masalah ini belum ditambah persoalan seperti gagal bayar yang sampai sekarang masih menghantui eksportir sayuran. Hampir seluruh eksportir sayuran tak mengenal mekanisme LC (letter of credit). Mereka hanya kenal istilah, ada barang maka ada uang. ”Saya hanya minta uang muka 50 persen dari barang yang kami kirim. Selebihnya dikirim setelah barang sampai ke pembeli,” ujar Kasman.

Menurut Kasman, pemerintah perlu mendirikan perwakilan dagang di luar negeri untuk aktif mengurusi kepentingan ekspor dan impor. Perwakilan dagang menjadi jaminan kelancaran dan kebangkitan kembali ekspor sayur-sayuran dari Tanah Karo.

Kepastian akan pasar produk-produk pertanian ini sangat penting dibandingkan penyuluhan soal tanaman apa yang harus dibudidayakan dan bagaimana melakukannya. ”Rakyat (petani) tidak usah dikasih tahu tanaman apa yang harus ditanam. Urusi sajalah distribusinya,” kata Kasman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com