Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembunuh Balita Nomor Dua

Kompas.com - 10/11/2010, 06:24 WIB

Jakarta, Kompas - Pneumonia masih menjadi ancaman besar dan penyebab utama kematian anak balita. Upaya pengendalian pneumonia dapat berkontribusi besar terhadap penurunan angka kematian bayi.

Hal itu terungkap dalam seminar ”Upaya Percepatan Penanggulangan Pneumonia” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa (9/11) di Jakarta. Kegiatan tersebut dalam rangka World Pneumonia Day (WPD) yang jatuh pada 12 November. Tahun ini, WPD mengambil tema ”Fight Pneumonia, Save a Child”, yaitu untuk memerangi dan menyelamatkan anak dari bahaya pneumonia.

Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Badriul Hegar mengatakan, penyakit infeksi masih menjadi permasalahan kesehatan anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia. Salah satunya ialah pneumonia (radang paru).

Pneumonia merupakan penyebab kematian tunggal pada anak yang terbesar di dunia.

”Di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab tunggal kematian bayi nomor dua setelah diare, baik untuk bayi usia di bawah satu tahun (12,7 persen) dan bayi di bawah lima tahun (13,2 persen). Perbaikan kesehatan anak balita cenderung stagnan,” ujarnya.

Badriul mengatakan, perlu percepatan untuk mengatasi masalah pneumonia. Terlebih dengan adanya keinginan pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium pada 2015 terkait angka kematian bayi dan anak balita.

Pembicara lain, dokter spesialis anak Boediman menjelaskan, pneumonia merupakan radang jaringan paru akibat infeksi bakteri atau virus yang menyebabkan gangguan pernapasan. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Badan PBB untuk Anak-anak dan Pendidikan (Unicef), sekitar 50 persen pneumonia disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae (bakteri pneumokokus) dan 20 persen disebabkan Haemophilus influenzae tipe B (Hib). Sisanya disebabkan virus dan penyebab lain.

Pneumonia berbahaya karena dapat menyebabkan kematian lantaran paru-paru tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mendapatkan oksigen bagi tubuh. ”Tubuh berusaha mengambil lebih banyak oksigen untuk menjaga kadar oksigen sehingga bayi kemudian bernapas cepat,” ungkapnya.

Deteksi dini

Pneumonia kerap tak terdeteksi dini karena gejala awal didahului selesma, seperti demam, batuk, dan pilek. Bahkan, pada bayi terkadang tidak ada demam. Penyakit itu dapat disertai nyeri kepala dan hilangnya nafsu makan. Jika gejala sudah lanjut, biasanya napas menjadi cepat dan dinding dada tertarik.

”Perhitungan napas menjadi sangat penting dan menjadi penanda penting terjadinya pneumonia,” ujar pembicara lain, dokter spesialis anak Darmawan B Setyanto. Jika itu terjadi, bayi butuh pertolongan rumah sakit.

Pada kasus berat bisa terjadi penurunan suhu tubuh, kejang, penurunan kesadaran, suara napas keras dan kasar, tidak dapat makan, serta anak tampak biru (terutama di sekitar mulut).

Boediman menambahkan, angka kematian dan kesakitan akibat pneumonia terkait sejumlah faktor, antara lain kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Faktor lain ialah berat badan lahir rendah atau prematur, tidak mendapat ASI eksklusif, defisiensi vitamin A, gizi buruk, dan tidak lengkap imunisasi.

”Saat bayi lahir dengan berat badan rendah atau prematur, sistem imun dan pernapasannya belum berkembang sebaik anak yang lahir dengan berat badan baik dan cukup umur,” ujar Boediman.

Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan M Subuh mengatakan, pemerintah sudah menetapkan infeksi saluran pernapasan akut sebagai prioritas serta menjamin ketersediaan obat esensial, alat bantu diagnostik, terutama sound timer (untuk menghitung kecepatan napas bayi), dan oksigen konsentrator untuk tata laksana pneumonia. Namun, komitmen untuk penanggulangan pneumonia belum merata, padahal untuk penanggulangan pneumonia dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dan kemitraan. (INE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com