Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/12/2010, 09:36 WIB

Kita ingin memastikan bukan hanya kita yang menjalankan aturan tersebut, melainkan juga orang lain. Kita akan menggunakan standar moralitas kita untuk mengukur orang lain, untuk mengotak-ngotakkan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, bahkan mungkin memaksa pihak lain untuk berperilaku sesuai pandangan kita mengenai kebenaran.

Demikianlah kemudian dapat terjadi diskriminasi dan kekerasan pada pihak-pihak lain yang dinilai buruk atas nama keyakinan atau ajaran agama. Situasi lebih runyam lagi apabila keyakinan agama dipolitisasi dan dieksploitasi untuk kepentingan di luar agama (misal: keuntungan ekonomi menjual produk X, memenangi pemilihan ketua Y di mana yang dianggap boleh jadi pemimpin hanya laki-laki, atau hanya orang dari agama Y).

Persoalan global

Dunia masa kini penuh dengan persoalan; makin sesak dan sempit untuk dihuni, makin membutuhkan keberanian dan "sikap tega" untuk berkompetisi dan mengalahkan pihak lain. Dalam situasi demikian, ketakutan dan kecurigaan antarkelompok dapat menjadi makin tajam. Alhasil, diskriminasi dan kekerasan juga makin mudah terjadi.

Dalam salah satu sesi paralel dalam konferensi Hukum dan Penghukuman yang berlangsung di Universitas Indonesia, Depok, 28 November-1 Desember 2010, dipaparkan oleh Prof Dr Marilyn Porter dari Kanada bahwa di Kanada sesungguhnya juga terjadi friksi-friksi antarkelompok. Apabila di Indonesia kelompok minoritas (dalam arti luas) seolah dipaksa untuk menjadi "sama" dan tidak boleh berbeda, demikian pulalah di Quebec, salah satu provinsi di Kanada, yang cenderung homogen dan diisi warga Kanada berbahasa Perancis. Dan yang lebih rentan tampaknya sama, yakni perempuan, yang perilaku dan cara berbusananya diatur-atur.

Di Indonesia, perempuan Muslim yang tidak menutup kepala mungkin dikomentari "kurang beragama". Di Quebec, perempuan Muslim yang ingin menutup kepala mungkin harus siap didiskriminasi. Jadi, persoalannya bukan pada agama atau aliran keyakinan X, Y, dan Z, melainkan pada bagaimana manusia memaknainya. Apakah agama menjadi sekadar ideologi untuk dieksploitasi bagi kepentingan sendiri, ataukah menjadi spiritualitas yang sungguh memerdekakan, menghidupkan, dan mendamaikan?


KRISTI POERWANDARI psikolog

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau