Jakarta, Kompas -
Demikian dikemukakan praktisi kesehatan Kartono Mohammad dan Pejabat Eksekutif Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Laksmiati Hanafiah dan Raisis A Panigoro saat berkunjung ke Harian
Kartono mengatakan, berbagai cara dilakukan untuk menentang penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, termasuk memutarbalikkan fakta.
”RPP tersebut bukan untuk mematikan petani tembakau, tetapi hanya aturan untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok,” kata Laksmiati Hanafiah.
Apalagi, kata Hakim Sorimuda Pohan, perokok pemula, yakni anak-anak di bawah usia 10 tahun, kini semakin meningkat jumlahnya. ”Lebih dari 40 juta orang kini menjadi perokok dan kalangan muda menjadi sasaran,” kata Pohan.
Agak aneh, kata Alex Papilaya, ada industri tembakau yang mengirim surat ke DPR minta dilibatkan dalam penyusunan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Apalagi dalam draf yang disampaikan industri rokok, tema RPP diubah menjadi untuk kepentingan industri rokok.
Tulus Abadi mengatakan, dalam RPP itu secara tegas dicantumkan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor produk yang mengandung tembakau.
”Substansi RPP itu sudah baik dan mengacu ke Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 113 telah tercantum tembakau termasuk zat adiktif. Secara sosiologis, produk tembakau disamakan dengan alkohol dan minuman keras sehingga penjualan dan distribusi dikendalikan,” ujarnya.
Secara terpisah, massa yang mengaku sebagai pekerja pabrik rokok, petani tembakau, dan petani cengkeh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Selasa siang. Mereka memprotes penyusunan RPP tembakau yang dinilai akan merugikan beberapa pihak; mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik rokok, hingga penjual rokok.