Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumlah Psikiater Masih Minim

Kompas.com - 10/01/2011, 09:46 WIB

Jakarta, Kompas — Jumlah dokter spesialis kesehatan jiwa di DKI Jakarta masih minim. Untuk melayani sekitar 10 juta jiwa penduduk Ibu Kota, hanya ada 157 psikiater di Jakarta. Padahal, tenaga medis yang memadai dapat membantu pencegahan upaya bunuh diri.

Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia Pusat, Nalini Muhdi, Minggu (9/1/2011), mengatakan, tenaga psikiater belum sampai ke tingkat puskesmas.

”Kebutuhan dokter spesialis masih sangat banyak karena masalah kesehatan jiwa ada di depan mata. Apalagi, dunia internasional memprediksi masalah kesehatan jiwa akan melonjak dan menempati urutan kedua sebagai penyakit yang paling banyak diderita orang pada tahun 2020,” kata Nalini.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan layanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa tahap awal. Layanan kesehatan gangguan jiwa diberikan dokter umum.

”Dokter umum di setiap puskesmas kecamatan mendapat pelatihan dan transfer ilmu dari dokter spesialis kesehatan jiwa untuk menangani pasien dengan gejala gangguan jiwa tahap awal. Dokter juga berwenang memberikan obat bagi pasien dengan gejala tersebut,” kata Dien.

Gejala gangguan jiwa tahap awal sering ditemukan di masyarakat dalam bentuk tekanan darah tinggi dan eksim yang tidak kunjung sembuh serta sakit mag berkelanjutan. Puskesmas sebagai lini terdepan layanan kesehatan dapat mengobati para pasien dengan gejala-gejala itu.

Pasien yang mengalami gejala gangguan jiwa berat akan dirujuk ke rumah sakit khusus daerah Duren Sawit karena dokter umum di puskesmas tidak dapat menanganinya.

Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Hakim Siregar mengatakan, kasus warga yang mengalami gangguan jiwa karena impitan berbagai masalah meningkat. Kini 40 petugas medis dan dokter di Jakarta Selatan dilatih untuk mendeteksi awal gangguan kejiwaan masyarakat.

Keberadaan dokter jiwa di Kota Depok, Jawa Barat, juga masih minim. Dengan komposisi penduduk 1,7 juta jiwa, hanya ada satu dokter jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Depok. Pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas tidak menyediakan tenaga dokter jiwa.

”Dalam sehari, dokter jiwa dapat melayani 15 pasien. Lantaran belum memiliki ruang perawatan, apalagi rumah sakit jiwa, dokter merujuk pasien ke Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi (RSJMM), Bogor, jika diperlukan perawatan lebih lanjut,” kata Kepala Humas RSUD Depok Beti.

Direktur Medik dan Keperawatan RSJMM Eka Viora mengatakan, keberadaan dokter umum di puskesmas bisa mendeteksi orang yang mengalami depresi asal dokter itu punya cukup waktu melayani setiap pasiennya.

”Konsultasi atau konseling tidak cukup hanya lima menit. Perlu waktu yang agak lama agar pasien bisa leluasa bercerita. Jadi, kendati dokter di puskesmas terlatih untuk mendeteksi gangguan jiwa, tetapi jumlah dokter yang ada masih terbatas sehingga waktu periksa setiap pasien singkat,” ujar Eka.

Di rumah sakit jiwa tenaga medis untuk mengatasi gangguan jiwa banyak dan berlapis, mulai dari perawat, psikolog, hingga dokter spesialis. Namun, sebagian besar pasien datang dengan kondisi sudah depresi berat dan mengganggu lingkungan sekitar.

Perlu sosialisasi

Eka berpendapat sosialisasi mengenai gangguan jiwa dan pemulihannya perlu terus didengungkan kepada masyarakat sehingga orang bisa leluasa konseling ke rumah sakit jiwa tanpa harus terbebani aneka stigma.

Hal serupa mengemuka dari psikolog Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. ”Jangan sampai pemahaman masyarakat yang menganggap siapa yang ke psikolog adalah orang gila dan memalukan terus dipelihara. Gangguan jiwa adalah masalah yang bisa diobati,” kata Hamdi.

Nalini menyampaikan, semakin banyak psikiater yang dekat dengan masyarakat, semakin mudah masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis untuk mendapat pengobatan.

Kedekatan tenaga medis dan masyarakat ini sekaligus menyosialisasikan pentingnya pengobatan medis bagi penderita kesehatan jiwa dan sebagai upaya preventif mencegah orang untuk bunuh diri.

”Sosialisasi penting karena belum semua orang melek tentang kesehatan mental,” ujar Nalini.

Bertambah lagi

Jumlah orang yang mengakhiri hidupnya terus bertambah. Jumat lalu, Fitriah (23) ditemukan meninggal di rumahnya di Kelurahan Tonjong, Depok. Ia diperkirakan mengakhiri hidupnya karena berselisih paham dengan keluarga.

Kepala Kepolisian Sektor Metro Bojong Gede Ajun Komisaris Suharto, Minggu, mengatakan, peristiwa itu murni bunuh diri, tidak ada bukti penganiayaan di tubuh korban.

”Saat kejadian sang suami sedang pulang kampung ke Cirebon. Sepertinya, istri muda ini cemburu dengan istri pertama,” kata Suharto.

Amelia (50), tetangga Fitriah, mengatakan, warga belum terbiasa berkonsultasi dengan dokter jiwa atau psikolog mengenai persoalan sehari-hari. ”Kami ini terbiasa curhat dengan tetangga atau saudara untuk tukar pendapat, tidak pernah pergi ke dokter,” katanya.

Di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, karena tidak kuat menghadapi penyakit yang sudah lama diderita, Erlina (42) gantung diri. Ibu rumah tangga itu ditemukan tewas di rumahnya, Jumat pekan lalu.

Kapolsek Metropolitan Tambora Komisaris Heri Dian mengatakan, polisi masih menyelidiki lebih jauh motif kematian Erlina itu.

”Berdasarkan keterangan saksi, yaitu keluarganya, Erlina lama menderita sakit di perutnya dan tidak kunjung sembuh,” katanya, Minggu.

Selama sepekan lalu, sedikitnya tercatat delapan kasus bunuh diri di wilayah Jabodetabek.

Psikolog Universitas Indonesia Farida Haryoko mengatakan, pelaku bunuh diri umumnya orang yang tertutup. Mereka adalah orang yang suka mengambil jalan pintas untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu, bunuh diri dapat dicegah dengan membangun interaksi sosial mulai dari lingkungan keluarga.

(ECA/NEL/NDY/FRO/ART)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com