Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Kutil yang Sulit Hilang

Kompas.com - 02/02/2011, 09:18 WIB

Pada 12 Januari 2011, Dede Koswara (39), penduduk Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dioperasi untuk ke-14 kalinya di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Sama seperti operasi pertama tahun 2007, tim dokter hanya mengiris dan mengangkat kutil yang menebal dari tubuh Dede, tidak bisa mengangkat semuanya.

Anggota Tim Dokter Penanganan Dede di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), dr Hardisiswo Sujana SpB, mengatakan, pada operasi yang berlangsung dua jam itu, tiga dokter bedah dan seorang dokter anestesi mengangkat 2,25 kilogram kutil dari tangan kanan dan kiri, wajah, perut, serta dada Dede. Pada operasi sebelumnya, tim dokter mengangkat lebih dari 5 kg kutil.

Ketua Tim Dokter Penanganan Dede di RSHS, dr Rachmat Dinata SpKK, mengatakan, hingga kini, tim dokter hanya bisa mengoperasi bagian luar untuk menipiskan jaringan kutil. Belum ada obat yang bisa mengatasi penyakit epidermodysplasia verruciformis (tumbuhnya bintil dan bercak bersisik dalam jumlah banyak) dan giant cutaneous horn (kutil meradang sehingga membentuk seperti tanduk) yang dipicu oleh Human Papillomavirus (HPV).

”Sebelum ada obat yang tepat, Dede hanya akan menjalani operasi pengikisan kutil,” katanya.

Sangat langka

HPV merupakan virus yang menginfeksi jaringan kulit terluar dan selaput lendir. Ada sekitar 200 tipe HPV. Sebagian tidak menyebabkan gejala apa pun, sebagian menimbulkan kutil dan sebagian kecil bisa menyebabkan kanker, baik di alat kelamin, mulut rahim, maupun dubur.

Karena menyerang sistem pertahanan tubuh yang lemah, berbagai macam tipe HPV rentan menyerang pengidap HIV/AIDS.

Rachmat Dinata menjelaskan, dalam kasus Dede, HPV yang menyerang adalah tipe 2 yang tidak menular. ”Sebenarnya kutil biasa tidak berbahaya. Karena kekebalan tubuh Dede lemah, kutil membesar dan ganas,” katanya.

Kutil di tubuh Dede tumbuh subur dan menyebar sehingga memicu penyakit epidermodysplasia verruciformis (EV) dan giant cutaneous horn. Penanganannya rumit karena diduga akar kutil melilit pada tulang.

Ia mengatakan, penyakit ini sangat langka karena hanya ditemukan beberapa kasus di dunia, di antaranya 9 kasus EV pada tahun 1986 serta satu kasus pada tahun 1988, 1992, dan 1997.

Hingga saat ini, belum ada obat yang mampu menghambat pertumbuhan kutil dan memperbaiki sistem kekebalan tubuh Dede. Menurut Rachmat, pernah ada empat jenis obat, tetapi belum bisa menyembuhkan. Bahkan, dikhawatirkan menimbulkan efek samping berbahaya.

Rachmat menambahkan, pakar Kesehatan dari University of Maryland, Amerika Serikat, Anthony Gaspari, pernah mencoba mengobati penyakit yang diderita Dede. Sebelumnya, Dede sempat diduga mengidap HIV/AIDS karena daya tahan tubuhnya sangat lemah. Namun, setelah diperiksa, selain kulit yang ditumbuhi kutil, kondisi tubuh Dede dinyatakan sehat. Dede hanya menderita kelainan kekebalan tubuh.

Setelah mengambil contoh darah Dede, Gaspari memberikan obat antivirus cidovovir dan tablet acitretin. Namun, cidovovir menimbulkan efek samping pada ginjal dan acitretin berpotensi menimbulkan gangguan pada hati. Salah satu produsen obat pernah memberikan obat guna meningkatkan kekebalan tubuh Dede. Namun, hasilnya tidak memuaskan.

”Sekarang kami melakukan pengobatan dengan salep salisilat pada kutil Dede. Salep masih dipertahankan karena bisa merontokkan kutil meski belum memuaskan,” kata Rachmat.

Alternatif

Rachmat mengatakan, masih membuka segala kemungkinan penawaran metode pengobatan. Metode terbaru ditawarkan Profesor Suzuki dari Hanazawa University, Jepang. Di Jepang, Suzuki dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif.

Obat itu sejenis obat herbal alternatif bernama co-exide. Bahan dasarnya biji hanjeli, asam folat, dan vitamin B6. Dari komposisi yang digunakan, obat berbentuk serbuk itu diperkirakan untuk memperbaiki daya tahan tubuh Dede. Harapannya, bila daya tahan tubuh Dede membaik, akan mengurangi laju pertumbuhan kutil.

Menurut Rachmat, Suzuki mengklaim pernah menyembuhkan kutil dengan obat ini dan minta enam minggu untuk menyembuhkan Dede. Meski tidak sepenuhnya yakin karena kutil yang diobati Suzuki tergolong tidak ganas, Rachmat menuturkan, RSHS sudah meminta izin Kementerian Kesehatan untuk mencobakan obat ini pada Dede.

Bisa dicegah

Rachmat menambahkan, HPV sebenarnya bisa dicegah. Saat ini, untuk tipe HPV yang menyerang manusia, seperti tipe 6, 11, 16, dan 18, sudah ada vaksin pencegahnya. HPV tipe 6 dan 11 memicu kutil ringan. Sementara HPV tipe 16 dan 18 memicu kanker rahim atau kanker penis.

”Di negara maju, perempuan dan lelaki muda diharuskan menerima vaksin HPV untuk mencegah penularan. Namun, pemberian vaksin di Indonesia belum wajib dan baru sebatas dianjurkan. Mungkin penularan atau timbulnya HPV bisa dicegah secara dini bila pemberian ini jadi suatu keharusan,” kata Rachmat.

Selain pemberian vaksin, perempuan disarankan menjalani pemeriksaan pap smear guna mencegah terjadinya kanker mulut rahim. Pap smear disarankan dilakukan secara rutin perempuan yang telah aktif secara seksual.

”Pencegahan sangat penting karena hingga kini belum ada obat yang bisa mengobati penyakit yang dipicu HPV,” katanya.

Cornelius Helmy

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com