Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cuci Usus, Pembersih Racun Tubuh

Kompas.com - 28/03/2011, 11:40 WIB

KOMPAS.com - Alergi sering kambuh, insomnia, kelelahan atau kulit bermasalah bisa menjadi indikasi bahwa jumlah toksin yang menumpuk dalam tubuh melebihi kemampuan sistem pembuangan. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan terapi atau program detoks tambahan.

Tujuan detoks adalah membersihkan dari zat-zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, polusi, sekaligus memperbaiki sistem pembuangan tubuh. Organ yang memegang peran kunci dalam proses detoksifikasi adalah liver dan saluran usus.

"Tubuh memang punya mekanisme pembersihan sendiri yakni melalui buang air besar (BAB). Tapi berapa banyak yang rutin BAB setiap harinya? Lagi pula tidak semua kotoran keluar dari tubuh, sebagian akan menempel di dinding usus besar dan menjadi racun seiring waktu," papar dr.Catherine Tjahjadi, ahli detoksifikasi.

Karena itu, menurutnya, proses BAB yang tidak lancar (konstipasi), sama halnya dengan tertimbunnya "sampah" di usus. Bahayanya adalah racun-racun ini bisa  kontak dengan dinding usus dan menyebabkan peradangan.

Di dalam usus besar juga masih terjadi proses penyerapan. "Yang diserap bukan cuma air tapi juga vitamin dan mineral yang masih dibutuhkan tubuh. Tidak ketinggalan toksin-toksin. Sehingga kita akan mengalami autointoksikasi atau keracunan oleh tubuh kita sendiri," imbuh dokter dari Klinik Suisse Jakarta ini.

Melalui proses detoks, kotoran yang bertahan dan berkerak di usus besar bisa dikeluarkan. Detoks bisa dilakukan dengan cara dari luar ke dalam, seperti hanya mengonsumsi buah dan serat saja.

Jenis detoks lainnya yang bersifat lokal dan efektif adalah hidrokolon atau cuci usus besar. Prosesnya sederhana, air yang sangat steril dialirkan melalui pipa kecil melalui anus langsung ke usus besar. Air yang dipakai adalah standar air minum yang sudah disteril dengan sinar UV dan bersuhu 37 derajat.

Aliran air ini melunakkan tinja sehingga bagian usus mebesar dan merangsang gerakan peristaltik pada usus besar. "Selanjutnya akan timbul rasa mulas dan kita tinggal mengejan untuk mengeluarkan kotoran," papar dr.Catherine.

Air yang dipakai dalam terapi hidrokolon berjumlah 36 liter dan dimasukkan secara bertahap. "Terapi ini tidak menggunakan pompa, aliran air hanya mengandalkan gravitasi saja karena galon air ditempatkan agak tinggi dan pasien dalam posisi setengah tidur," jelasnya.

Ia menambahkan, sepertiga galon pertama bertujuan untuk melunakkan tinja di bagian ujung usus besar atau kotoran yang baru sehingga yang keluar adalah feses. Setelah itu 2/3 galon berikutnya yang keluar dari anus hanyalah air saja yang berarti sudah terjadi pembersihan dinding usus.

"Ada juga pasien yang dari awal sampai akhir hanya keluar air saja tidak ada tinja. Itu biasanya kalau pasien dehidrasi sehingga fesesnya terlalu keras. Biasanya hidrokolon harus diulang lagi untuk mengeluarkan tinjanya," imbuhnya.

Proses hidrokolon dilakukan selama 40 menit serta dilakukan dalam ruangan tertutup untuk menjaga privasi dan kenyamanan pasien. Untuk terapi ini, pasien dikenakan biaya sebesar Rp. 500.000

Terapi hidrokolon ini sebenarnya bukan hal baru. Menurut dr.Cathrine, terapi ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan populer di banyak negara. Akan tetapi terapi ini memang tidak dimasukkan ke dalam kedokteran konvensional. "Hidrokolon termasuk dalam kedokteran komplementer, tapi sudah dinyatakan aman," katanya.

Minum saja tidak cukup

Meskipun hidrokolon menggunakan media air untuk mengeluarkan feses, namun menurut dr.Catherine hasilnya akan berbeda jika kita melakukan detoks sendiri dengan banyak-banyak minum air.

"Jika kita minum air, pertama air akan masuk ke lambung. Di bagian itu akan ada proses penyerapan sehingga air yang masuk ke usus besar tinggal sisanya. Lagi pula maksimal kita hanya sanggup minum air sebanyak dua liter," jelasnya.

Demikian pula halnya dengan obat-obatan pencahar yang sifatnya hanya mengeluarkan kotoran baru. "Kotoran yang lama dan sudah mengerak tidak bisa ikut dikeluarkan. Selain itu cara kerja obat pencahar adalah membuat otak untuk mengirim sinyal kepada tubuh agar mengirim air yang banyak ke bagian usus besar. Efeknya tubuh bisa dehidrasi," katanya.

Walaupun terbilang aman, namun terapi hidrokolon ini tidak dianjurkan untuk pasien kanker kolorektal dan pasien hipertensi. "Aliran air dan proses mengejan terus selama 40 menit bisa membuat tekanan darah tambah naik," jelas dr.Catherine.

Efek samping yang mungkin timbul dari terapi ini adalah rasa mual, terutama pada pasien yang tidak tahan pada tekanan. "Karena itu disarankan untuk tidak makan makanan padat dua jam sebelum terapi," katanya.

Terapi hidrokolon tidak hanya menyingkirkan racun dan bakteri yang bersifat patogen, tapi juga bakteri baik. Karena itu pasca terapi, pasien akan diberikan kapsul probiotik, minuman isotonik untuk mengganti elektrolit yang hilang, serta secangkir teh hijau untuk memberi efek menenangkan.

Pasien yang banyak melakukan terapi ini menurut dr.Cathrine adalah pasien sembelit kronik, penderita alergi, pasien penyakit kulit, atau mereka yang mengalami gangguan penyerapan nutrisi.

Alamat Klinik Suisse

Wisma Kyoei Prince Lt.6, Jl.Jend Sudirman Kav.3 Jakarta Telp 021-5790 5890

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com