Dewasa ini jamu memang tidak hanya beredar di lingkungan terbatas. Jamu dengan mudah dapat diperoleh dan dikonsumsi oleh khalayak yang membutuhkan. Begitu besarnya permintaan pasar akan ramuan tradisional ini membuat produsen jamu mengambil jalan pintas dengan mencampur ramuan tradisional dengan bahan-bahan kimia obat. Ini menandakan bahwa jamu sesungguhnya telah menjadi pilihan masyarakat luas sebagai rujukan mencari pengobatan.
Pengguna meningkat
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, masyarakat yang memilih mengobati diri sendiri dengan obat tradisional mencapai 28,69 persen, meningkat dalam waktu tujuh tahun dari yang semula hanya 15,2 persen.
Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010 memberi gambaran bahwa dari populasi di 33 provinsi dengan 70.000 rumah tangga dan 315.000 individu, secara nasional 59,29 persen penduduk Indonesia pernah minum jamu. Angka ini menunjukkan peningkatan penggunaan jamu/obat tradisional secara bermakna. Ternyata 93,76 persen masyarakat yang pernah minum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh.
Kepercayaan masyarakat terhadap jamu yang cukup tinggi ini tentu perlu disikapi dengan arif supaya mereka tidak berpaling pada metode pengobatan tradisional bangsa lain. Tanpa citra jamu yang kuat, produk herbal dari negara lain, terutama China, akan menguasai pasar Indonesia karena promosi mereka besar-besaran walaupun jelas belum tentu benar dan aman.
Di tengah mahalnya harga obat karena di antaranya 95 persen bahan baku masih impor, jamu yang asli Indonesia dapat menjadi alternatif menjaga kesehatan, terutama untuk tindakan preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif.
Meski demikian, harus diakui, di mata profesi kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan, jamu masih dipandang sebelah mata. Mereka belum berani merekomendasikan kepada pasien untuk mengonsumsi jamu karena jamu dinilai belum teruji secara praklinik dan klinik.
Jamu sebagai obat asli warisan leluhur, meskipun khasiatnya telah dirasakan masyarakat, memang belum diperlakukan sejajar dengan obat konvensional. Sebab, jamu belum dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.
Sebagian kalangan profesi kesehatan di Indonesia masih berpikiran skeptis terhadap jamu. Mereka yang sesungguhnya dipercaya masyarakat justru sering menempatkan jamu sebagai obat nonmedis dan belum bersedia mengobati pasien dengan jamu.
Saintifikasi jamu