Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertahan atau Bercerai?

Kompas.com - 22/05/2011, 04:02 WIB

KRISTI POERWANDARI/PSIKOLOG

Berikut surat dari dua orang yang sangat tertekan dengan kelakuan pasangan. Yang satu pria, telah lama menikah, satunya wanita, baru saja menikah. 

Bapak R (52), 30 thn menikah: ”Sebelum menikah saya sudah tahu karakter pasangan yang tidak mampu mencinta, tapi kami telanjur ’makan buah terlarang’, dan didesak segera menikah.

Saya pernah mengajukan gugat cerai, tetapi saya cabut agar tidak melukai anak-anak yang saat itu masih kecil. Atas desakan anak-anak yang sekarang sudah dewasa, yang tidak tahan dengan kelakuan ibunya yang ’hobi ribut’ dan sering mempermalukan kami di tempat umum, juga melabrak wanita-wanita yang berhubungan kerja dengan saya, tahun lalu saya menggugat cerai lagi dengan alasan cekcok yang berkepanjangan yang sudah mengganggu sumber nafkah.

Tapi kemudian istri melakukan upaya banding. Sekarang saya dan anak-anak sedang bersiap pindah tempat tinggal agar menjauh dari ’teror’ istri saya. Bahkan keluarga besar istri mendukung saya untuk melaporkan ulahnya yang cenderung anarki, misalnya belum lama ini ia memaki- maki saya dengan kata-kata kotor di kantor saya dan saya tetap menahan diri untuk tidak terpancing melakukan respons fisik yang keras.

Saya tetap mencintai istri, tetapi passion kepadanya padam. Komitmen pernikahan tetap kuat karena iman, tetapi saya juga tidak bisa membiarkan lagi kehidupan saya dan anak-anak dirusak terus oleh istri. Saya tetap ingin memberi kesempatan kepadanya untuk berubah positif.” 

Mbak S (24): ”Saya belum lama menikah, dijodohkan dengan anak teman baik orangtua. Saya pikir ia menunjukkan itikad baik dan memenuhi kriteria saya. Saya tidak ingin berlama-lama dalam masa penjajakan, toh kedua keluarga sudah seperti saudara. Niat saya sederhana, hanya ingin beribadah dan berharap dengan memiliki suami saya bisa lebih bersemangat.

Awal pernikahan baik, saya berusaha melayani sepenuh hati. Sekarang saya merasa ada yang aneh dan membuat tidak nyaman. Dalam berhubungan intim, dia selalu egois. Yang lebih mengagetkan, dia banyak berbohong. Akun jejaring sosialnya menampilkan komentar-komentar tidak pantas. Juga terpampang jelas foto-foto acaranya, padahal dia berpamitan untuk lembur bekerja. Ada fotonya sedang berpelukan dengan pemandu karaoke. Yang lebih parah, suami ternyata sering ikut togel. Dari jejaring sosialnya itu pun akhirnya saya tahu, dia sering mentraktir perempuan, padahal kepada saya suami mengaku tidak pernah punya uang.

Saya tersadar satu hal. Dia tidak pernah terbuka tentang teman-temannya. Saya hanya dikenalkan beberapa. Terus terang saya tidak menyukai pergaulannya dengan teman-temannya. Suami berdalih bahwa mereka yang memberi dia pekerjaan sehingga bisa seperti sekarang.

Suami mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi. Tapi, saya merasa janjinya palsu karena sampai sekarang dia tidak kunjung berubah. Saya sangat terpukul, merasa telah salah memilih pendamping hidup. Setiap waktu jadi curiga terus. Saya yang tadinya bersemangat, jadi pesimis, rapuh, dan sensitif. Saya ingin kembali ke kehidupan normal saya, apalagi saya harus segera menyelesaikan tugas akhir. Bagaimana caranya supaya kembali percaya padanya?”

Mengambil keputusan

Perkawinan yang telah dipersiapkan dengan matang melalui saling mengenal secara mendalam pasangan dan keluarga pasangan pun masih dapat menghadapi berbagai masalah. Apalagi yang dilakukan ”terpaksa”, atau tidak dipersiapkan dengan baik. Sayang hal ini sering disadari setelah terlambat.

Pertanyaan penting: apakah pasangan dapat sungguh berubah dan sejauh mana kita benar-benar memberi kesempatan padanya untuk berubah? Tidak jarang, saking terkejutnya dengan kejadian yang dialami, istri/suami kehilangan kepercayaan lalu semua tindakan pasangan dicurigai, terus bersikap keras, tidak membuka dialog dan selalu mengungkit kesalahan pasangan di masa lalu. Suatu hal yang menghambat penyelesaian masalah.

Perlu pula dipahami, seseorang lebih mungkin berubah bila ia terlihat sungguh menyesal, mengerti kesalahannya, dan betul-betul mencoba memperbaiki diri. Maksudnya, tidak mencari-cari alasan, malah berbalik menyalahkan kita atau orang-orang lain, minta maaf tetapi dengan terpaksa atau ogah-ogahan, ataupun terus-menerus tetap mengulang perbuatannya.

Untuk dapat mengambil keputusan secara baik, kita perlu merenung dalam situasi yang tenang dan memetakan semua alternatif solusi dengan berbagai konsekuensinya. Sebisa mungkin dengan mempertimbangkan masukan dari orang-orang lain yang kita percayai dan kita anggap cukup bijaksana. Tetap pada akhirnya keputusan harus kita ambil sendiri.

Pak R sebenarnya telah mendapat ”restu” dari anak dan keluarga besar istri untuk mengambil keputusan apa pun yang dianggap lebih baik, sementara Mbak S perlu mencari pihak yang dapat membantu memetakan masalah dengan lebih jelas. Apakah bercerita dengan hati-hati pada orangtua sendiri dan/atau mertua dapat membantu untuk memahami persoalan dengan lebih baik, atau justru memperuncing masalah?

Tidak jarang dengan niat baik kedua belah pihak, perkawinan dapat dipertahankan dan diperbaiki. Tetapi bila situasinya memang serba sulit dan tidak enak, keputusan yang diambil berpulang pada nilai-nilai hidup yang dijunjung oleh masing-masing kita. Apakah memilih bertahan karena alasan iman atau untuk memastikan pemenuhan kebutuhan ekonomi anak, meski diri sendiri merasa tidak bahagia? Ataukah berpisah demi kebahagiaan dan ketenangan diri, meski terpaksa mengecewakan orangtua, menyulitkan diri (misal: karena harus memulai lagi hidup dari nol), atau menyakiti pasangan (yang tidak siap berpisah)?

Hidup ini tidak pernah sempurna. Hal yang juga penting adalah mengambil langkah-langkah khusus untuk meminimalkan situasi negatif. Misalnya, bila memutuskan bertahan meski kurang nyaman dengan pasangan, perlu mengambil langkah-langkah aktif dan positif untuk tetap dapat mengupayakan kebahagiaan diri dan keluarga. Demikian pula bila memutuskan berpisah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com