Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkawinan Usia Remaja Masih Terjadi

Kompas.com - 18/11/2011, 14:53 WIB

Sebulan terakhir, Maman (40) kebingungan. Anak pertamanya, laki-laki, mogok tidak mau melanjutkan sekolah setelah Juni lalu lulus SMP. Bukan hanya itu, anak itu minta dikawinkan, padahal usianya baru 16 tahun.

Karena usia si anak baru 16 tahun, untuk menikah harus mendapat izin dari pengadilan. ”Keluarga pihak perempuan memaksa cepat menikah. Katanya takut hamil, tetapi sebetulnya tidak hamil,” kata Maman yang bekerja menjaga rumah di Jakarta dan berasal dari Madukoro, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dia berencana membujuk lagi anaknya agar mau melanjutkan sekolah. Kalau tetap tak mau, Maman hanya pasrah. ”Ikut saya ke Jakarta. Kerja sedapatnya, mungkin ngepel dan cuci-cuci,” kata Maman yang lulusan SD.

Maman tidak sendirian. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011 tidak secara langsung mengukur usia pertama perkawinan, tetapi perkawinan dini dapat menjadi indikator lama sekolah anak perempuan, partisipasi di pasar tenaga kerja, dan angka kematian ibu (AKI) per 100.000 kelahiran hidup. Perkawinan usia dini juga memengaruhi angka kematian anak balita karena berhubungan dengan kesiapan psikologis ibu.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 mengungkap, hampir 50 persen perempuan menikah pertama di bawah usia 19 tahun. Pernikahan dini berdampak pada kesehatan reproduksi ibu dan umur harapan hidup bayi yang dilahirkan.

”Meskipun secara biologis perempuan dianggap siap hamil pada usia sekitar 12 tahun, begitu mulai haid, secara psikologis usia yang dianggap siap 18 tahun. Lima tahun terakhir, kecenderungan menikah muda meningkat,” kata mantan Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia dr Kartono Mohammad.

Kekhawatiran anak perempuan hamil di luar nikah, seperti pengalaman Maman, hanya salah satu alasan. Penyebab lain, sebagian masyarakat memandang anak perempuan harus segera menikah karena hidup perempuan berkisar di sekitar rumah dan pernikahan. Juga ada penyebab ekonomi, dengan menikahkan anak perempuan, beban ekonomi orangtua berkurang.

Menurut Riskesdas 2010, perempuan yang perkawinan pertamanya pada umur 15-19 tahun ada 41,9 persen dan yang menikah pada usia 10-14 tahun sebanyak 4,8 persen. Daerah dengan persentase perempuan menikah pertama pada usia sangat muda (10-14 tahun) ada di Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, yang masing-masing 7 persen.

Kematian ibu

Riskesdas 2010 membenarkan bahwa perkawinan sangat muda umumnya terjadi pada perempuan di perdesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin, serta pada kelompok tani, nelayan, dan buruh. Semakin tinggi pendidikan, persentase perkawinan pertama pada usia dini menurun.

Karena terjadi pada kelompok sosial-ekonomi termiskin, perkawinan usia muda menimbulkan risiko kematian ibu saat melahirkan. Risiko kematian pada anak balita juga meningkat.

Pemerintah menyebut, AKI turun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 pada 2007. Akan tetapi, angka itu masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yaitu 102 pada tahun 2015.

Sementara Laporan Pembangunan Manusia 2011 menyebut, AKI Indonesia masih 240 dan tingkat fertilitas remaja sebesar 45,1 kelahiran per 1.000 kelahiran hidup. Tingginya tingkat fertilitas remaja sejalan dengan tingginya angka perkawinan pertama pada usia muda/remaja, 15-19 tahun.

Ada banyak hal yang menyebabkan tingginya AKI. Infrastruktur jalan tidak memadai menyebabkan ibu hamil sulit teratur memeriksakan kandungan dan menjangkau rumah sakit dengan cepat jika terjadi kegawatan kehamilan dan persalinan.

Kekurangan gizi sejak remaja menyebabkan ibu hamil mengalami anemia yang membahayakan persalinan. Belum lagi faktor budaya yang memandang ibu meninggal saat melahirkan akan masuk surga. Kematian ibu saat melahirkan memperbesar kemungkinan bayi yang dilahirkan juga meninggal atau pertumbuhannya lambat.

Dari sisi asupan gizi, Riskesdas 2010 menyebutkan, secara nasional penduduk Indonesia yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal—kurang dari 70 persen dari angka kecukupan energi orang Indonesia—berjumlah 40,7 persen. Lebih dari separuh (54,5 persen) remaja berusia 13-18 tahun mengonsumsi energi kurang dari kebutuhan minimal. Khusus untuk perempuan usia dewasa, 19-55 tahun, 40,7 persen mengalami kekurangan asupan energi.

Dikaitkan dengan AKI, layanan kesehatan tidak cukup jika dilakukan hanya saat ibu hamil. Kondisi sehat ibu hamil dimulai sejak perempuan dalam kandungan. ”Layanan kesehatan reproduksi remaja putri belum memadai,” kata Kartono lagi.

Bidan desa Dalam menurunkan AKI, bidan desa adalah ujung tombak. Sayangnya, menurut Ketua PB Ikatan Bidan Indonesia Dr Harni Koesno, MKM, dari sekitar 73.000 desa, yang ada bidannya hanya sekitar 43.000 desa. Jumlah bidan tercatat lebih dari 200.000 orang, 101.576 orang menjadi anggota IBI. Adapun bidan praktik swasta lebih dari 35.000 orang.

Pengadaan bidan desa berhubungan dengan otonomi daerah. Tidak semua pemerintah kabupaten peduli. Padahal, bidan desa menjadi ujung tombak penyuluhan penurunan AKI dan kematian anak balita. Bidan juga menjadi ujung tombak pemberi layanan kesehatan reproduksi remaja dengan menyuluh di sekolah dan membentuk kelompok (peer group) remaja putri.

Sebenarnya pemerintah sudah mengusahakan infrastruktur fisik pondok bersalin desa (polindes), tempat ibu hamil memeriksakan diri dan bersalin, lengkap dengan ruang tempat tinggal bidan. ”Tetapi, tidak sedikit yang fasilitasnya tidak memadai. Tidak ada air bersih dan kakus,” kata Harni.

Program pemerintah memberi jaminan asuransi persalinan (jampersal) pun di lapangan tak selalu mulus. Bidan seharusnya menerima Rp 410.000 per persalinan, termasuk tiga kali perawatan sebelum persalinan dan tiga kunjungan setelah melahirkan.

Dalam praktik, baru enam bulan setelah menyelesaikan paket persalinan, bidan menerima dana jampersal. ”Itu pun tak utuh. Banyak bidan mengeluhkan potongan oleh pemerintah kabupaten. Ada yang terima hanya Rp 80.000,” kata Harni. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan, banyak bidan enggan berpraktik di desa.

Membangun manusia akhirnya tidak bisa diukur hanya dari pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, IPM pun dapat menyembunyikan kesenjangan.

Dengan IPM Indonesia berada pada tingkat menengah, tetapi di bawah rata-rata negara dalam kelompok IPM menengah yang sama, banyak ketertinggalan pembangunan manusia harus diatasi.

(Ninuk Mardiana Pambudy)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com