Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi M. Nurcholis

Kompas.com - 26/11/2011, 19:20 WIB

Pagi yang Berkarib dengan Kenangan

Di pagi ini, begitu banyak mimpi-mimpi yang ingin bergegas.
Sepertinya waktu tak akan terulang lagi esok hari.

Lihatlah lima ekor harapan yang berkejaran di sana!
Mereka bergegas pergi ke kantor-kantor, gedung-gedung menjulang
Dan sekolah yang berisi ilmu-ilmu mahal.

Padahal, kau lihat? Pagi masih begitu kuyu.
Matanya yang basah oleh embun pagi, yang masih menyimpan sejuta pilu.

Oh, masihkah ada hari lalu dimana pagi masih setia dengan kenangan?

Cilacap, 2011

Seorang Lelaki Tua

Di malam yang sepi
lelaki tua itu berbaring pada ranjang
yang berderit kesakitan
oleh waktu yang memakan serat kayu.

Betapa malam kini sepi,
Hanya sunyi
sesekali berhembus dari jendela .
Beberapa kenangan terbang
berkejaran di sekitar kepalanya
Satu ekor jatuh di pundaknya;
kenangan tentang masa kecilnya.

Bulan masih setia menyinari
malam yang egois dengan kegelapan,
Ia masih sendiri berbaring di ranjang
Tanpa seorang harapan. Tanpa sosok kebahagiaan.
Hanya kesepian yang setia di sampingnya,
Mengibaskan air mata yang mulai
mengotori kerah bajunya.

Beberapa sengal keluar dari mulutnya,
Mulut yang penuh dengan kata-kata
Seperti sajak yang begitu bosan mengenyangkan pembaca.

Ada yang terus berdetak,
Satu kali, dua kali, jutaan kali di dinding itu.
sedang yang di dada
entah mengapa berdenyut meredup.

Ia masih sendirian. Berdua dengan kesepian.
Tak lama kemudian, kesepianlah yang benar-benar sendiri.

Cilacap, 2011

Rumah

Sebuah gubuk beratapkan daun enau
berdindingkan anyam blarak
berdiri kaku di tepi danau.

Seorang nenek renta
menjumputi rumput
yang semakin menggulma
menutupi hati dengan rasa takut.

Di beranda,
Kakek tua berkaus oblong
membaca secarik berita
tentang dunia yang terus berbohong.

Mereka tinggal berdua,
bertiga dengan waktu,
yang selalu dan pasti menyakiti;
mata yang semakin rabun,
mulut yang semakin ngilu,
dan detak, yang semakin
meredup di dada.

Hanya gubuk yang setia
menemani mereka
bercengkrama dengan waktu.
Dan hidup yang begitu singkat,
pasti akan membawa mereka
ke rumah,
tempat segalanya
akan berpulang.

Cilacap, 2011

Kapal
 
Di ruang yang lekang
seperti malam di bawah hamparan langit
Aku mendengar gelegak pantai
dari udara yang terbias kesepian.
 
Kelak, segala kesepian akan menjelma
menjadi tanjung
Dan aku akan mengunjunginya
menggunakan kapal-kapal kenangan
menuju pelabuhan harapan
dimana engkau telah menjelma ingatan.
 
Matahari telah lindap
bahkan bulan melesap
menuju kidung malam
dengan segala kegelapannya,
 
Sekoci telah disiapkan
untuk berjaga-jaga
barangkali kapal-kapal akan pecah
dan muatan jatuh ke laut
luluh oleh kekecewaan
yang makin menggelinjang.
 
Cilacap, 2011

Sekedar Rayuan

Masa depan, kubilang
adalah rumah sederhana dengan beranda
tempat aku bertamasya baca
dan engkau sibuk merenda
di meja, sepotong roti, dua teh hijau dan koran minggu
dengan berita yang penuh dengan bunga-bunga.

Di luar hujan, Sayang, tak perlu kau khawatirkan.
Cukup di beranda, burung-burung kan terlepas sangkar
laun debur ombak, kokok kapal api, siul kumbang Nusakambangan
meresap pada telinga sealun hujan jatuh pada atap yang riuh.

Masa depan, kubilang
adalah pagi selepas malam
Sepotong roti legit yang kita gigit
bersama, sebab apa yang hendak kita miliki sendiri
bila tiap hidup telah bersama kita bagi?

Kalibata, 2011

Stasiun

bangku peron itu senantiasa menunggu keramaian sejak Belanda mendirikan stasiun, dan kini, ia senantiasa tetap menunggu.

rel-rel yang masih setia pada jarak, seolah mengejek bahwa jarak yang tengah memisahkan kita begitu pendeknya dibanding mereka; takkan pernah bertemu pada berpuluh ribu kilometer.

lalu gerbong-gerbong yang uzur, lokomotif renta, serta bantalan rel dari kayu jati yang rapuh itu, adalah tanda; waktu merupakan batas dari sebuah tunggu.

maka suatu nanti, setelah aku membayar karcis peron seribu lima ratus rupiah (sebab aku iba terhadap petugas kereta yang bajunya itu-itu saja) kita akan menyusuri jalan sepanjang rel. bergandengan. menemani rel-rel berkarat, menaiki gerbong-gerbong kosong, mengunjungi bengkel lokomotif, yang kau sama syahdunya dengan mereka.

dan, bila waktu memang tertakdir menjadi akhir sebuah temu, engkau perlahan menjauh pelan. lalu kereta pun perlahan berderak, melaju pelan meninggalkan segala hal yang sepi, di dadaku.

Cilacap, 2011

M. Nurcholis lahir 22 Juni 1986 di Cilacap, Kota Pesisir di Pantai Selatan Jawa. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia Rawamangun, Jakarta. Dapat dihubungi di twitter @n_choliz, Facebook: Muhammad Nurcholis atau blog pribadinya di www.kolasecerita.wordpress.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com