Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat "Off-Patent" Wajib Cantumkan Logo Generik

Kompas.com - 20/03/2012, 05:13 WIB

Jakarta, Kompas - Hak pasien untuk mendapatkan obat yang terjangkau dan berkualitas belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Ketiadaan langkah masif dan terstruktur untuk memopulerkan serta melindungi produksi, distribusi, dan pemasaran obat generik menjadi salah satu penyebabnya.

”Pemerintah jangan tutup mata dalam melindungi masyarakat. Obat paten setelah lewat masa perlindungan patennya (off-patent) menjadi obat generik dan boleh diproduksi massal. Namun, ada obat yang tetap dikasih merek. Padahal, isinya sama dengan obat yang berlogo generik. Harganya bisa 20 kali lipat,” kata Slamet Budiarto, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Senin (19/3), di Jakarta.

Slamet bersama Ketua Umum PB IDI Prijo Sidipratomo memaparkan agenda peringatan Hari Bakti Dokter Indonesia yang diperingati setiap 20 Mei. IDI mengimbau semua dokter di Indonesia untuk menggratiskan jasa medis atau menyumbangkan sebagian penghasilan untuk kegiatan sosial.

Rangkaian peringatan dimulai 20 Mei 2012 di Taman Parkir Timur Senayan, Jakarta, dengan pengobatan gratis sekaligus simulasi sistem rujukan, seminar, donor darah, dan kegiatan lain.

Hari Bakti Dokter Indonesia ditetapkan sejak 28 Mei 2008. Ini didasarkan peran dokter (di antaranya Wahidin Sudiro Husodo, Sutomo, dan Tjipto Mangunkusumo) yang pada 20 Mei 1908 membentuk organisasi Budi Utomo dan kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Khasiat sama

Slamet menyatakan, obat generik memiliki kualitas dan khasiat sama dengan obat bermerek. Ini karena komposisi dan bahan penyusun sama. Bedanya hanya pada kemasan.

IDI mendesak agar pemerintah membuat instrumen yang mengharuskan perusahaan farmasi mencantumkan logo obat generik pada obat generik bermerek. Dengan demikian, masyarakat mengetahui bahwa komposisi dan khasiat obat bermerek dan obat generik sama.

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran DKI Jakarta Anwari mengatakan, ketiadaan regulasi yang mengatur persentase harga obat membuat harga obat generik bermerek di Indonesia sangat tinggi. IDI menyebut, harga obat di Indonesia tertinggi di Asia dan termahal kelima di dunia. Di India dan Vietnam, harga obat generik dan obat generik bermerek hampir sama. ”Dalam pengaturan rasio harga obat, pabrik harus untung, tetapi keuntungannya jangan keterlaluan,” kata Anwari.

Menurut Slamet, kesuksesan penggunaan obat generik harus didukung dokter. Dalam berbagai kesempatan, IDI mengimbau dokter untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin kontrak dengan penyedia obat.

”Kalau dokter meresepkan, harus ada obat generik di rumah sakit dan apotek. Namun, saat ini apotek hanya sedia 10-20 persen (obat generik). Harusnya di atas 50 persen,” katanya.

Sejak awal 2010, pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Kesehatan 068/2010 yang mewajibkan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis.

(ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com