Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pengobatan dan Awal Sebuah Pertemanan

Kompas.com - 04/07/2012, 13:52 WIB

KOMPAS.com - Bunyi alarm membangunkan saya pagi itu. Saya mengusap kedua mata saya, mencoba mengusir mimpi buruk yang hadir dalam tidur semalam. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06:30 dan saya tersadar bahwa saya sudah kesiangan. Ini hari Selasa, hari dimana saya tidak ingin sedikitpun telat ke tempat kerja.

Hari Selasa adalah hari inisiasi obat antiretroviral (ARVs). Berarti, akan ada sejumlah pasien baru yang datang dan berarti juga akan lebih banyak tugas menanti, sehingga jam kerja pun harus dimulai lebih awal. Saya memasukkan bekal sarapan ke dalam tas dan menuang kopi ke dalam botol minum. Dari rumah tempat saya tinggal menuju Pusat Kesehatan dibutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki, melewati sebuah gereja dan pasar desa yang tidak pernah sepi.

“Kenapa bisa tempat sekecil ini selalu sibuk hampir 24 jam? Bahkan matahari pun belum terbit sepenuhnya?” Saya bertanya-tanya dalam hati begitu melihat pasien-pasien yang sudah duduk berbaris dengan rapi di bangku-bangku ruang tunggu pelanan pasien rawat jalan (OPD).

Di antara barisan pasien itu, sekilas saya melihat seorang gadis kecil yang wajahnya rasa-rasanya tidak asing lagi bagi saya. “Sepertinya saya mengenal gadis kecil itu!” kataku pada Andy, penerjemah saya. “Tentu saja anda kenal. Dia salah satu pasien yang dirawat di bangsal beberapa minggu yang lalu,” jawabnya dengan cepat. Dan ingatan saya pun membawaku kembali ke hari itu.

Hari itu sama seperti sekarang, begitu banyak pasien yang datang berobat. Saya sedang sibuk melayani pasien ketika seorang laki-laki datang membawa seorang gadis kecil berusia 12 tahun ke Pusat Kesehatan kami. Kondisinya sedang kritis. Tubuhnya begitu lemah dan jantungnya berdetak kencang. Kuletakkan termometer di ketiaknya, dan setelah beberapa menit kemudian saya memeriksa nilai yang tertera sudah mencapai 40.1 derajat Celcius. “Dia mengalami demam tinggi!”

Perlahan-lahan saya meletakkan stetoskop di dadanya dan hanya helaan napas yang kasar yang mampu saya dengar. Sepertinya dia menderita pneumonia yang cukup serius. “Apa yang terjadi pada gadis kecil ini? Kenapa baru sekarang mereka membawanya ke sini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berjejal di pikiranku, tapi saat itu bukan waktu yang tepat untuk melontarkan pertanyaan semacam itu. Gadis kecil ini perlu penanganan segera. Saya tak bisa menunggu hingga hasil pemeriksaan darahnya selesai.

Maka, segera saya sobek pembungkus sebuah alat diagnostik Malaria dan menusukkan jarum kecil ke jari gadis itu.  Setetes darah mengalir ke dalam lubang peralatan diagnostik yang bekerja dengan cepat. “Semoga bukan Malaria, kumohon...” saya berbisik sembari menanti alat diagnosa itu menunjukkan hasilnya. Doaku ternyata dikabulkan. Gadis kecil itu tidak terjangkit malaria.

“Siapa namamu?” tanyaku pada gadis itu sembari menyuntikkan dosis antibiotik pertama melalui pembuluh darahnya. “Daziona Patrick”, jawabnya pelan. Saya selalu kagum melihat kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Berangsur-angsur, gadis kecil itu pun mulai pulih. 

Setelah menjalani perawatan selama seminggu, dia sembuh dari penyakit yang mengancam jiwanya itu dan ia pun kami perbolehkan pulang. Namun gadis kecil itu kembali lagi ke Pusat Kesehatan  dengan sebuah kenyataan pahit. Dia terinfeksi HIV…

Pusat Layanan Kesehatan Thekerani memiliki lebih dari 3.000 pasien penderita HIV/AIDS dan jumlah ini terus bertambah dari waktu ke waktu. Setiap bulan, kami melayani sekitar 3.000-4.000 pasien yang datang berkonsultasi ke bagian Pelayanan Pasien Rawat Jalan, sementara jumlah pasien rawat inap bisa mencapai 150 orang setiap bulannya. Tidak kalah pentingnya, kami juga merawat sejumlah pasien bersalin serta bayi-bayi yang membutuhkan perawatan khusus. 

Sebagai satu-satunya dokter di sini, dalam menjalankan tugas saya dibantu oleh dua asisten medis dan dua orang perawat yang bekerja di bangsal bersalin. Karena keterbatasan jumlah petugas dan beban tugas yang berat, kami melakukan hampir semua hal sendiri – mulai dari pendaftaran dan diagnosis pasien, pemeriksaan laboratorium sederhana, hingga penataan dan pemberian obat-obatan. Hal-hal seperti ini tidak saya temui dan lakukan di negara saya.
Di Indonesia, meski masih banyak daerah yang membutuhkan tambahan tenaga kesehatan. Kami senantiasa memiliki perawat dan bidan yang dapat membantu melakukan hal-hal tersebut.

Sementara di Malawi, jumlah dokter yang dipekerjakan pemerintah terbatas sehingga sulit menjangkau daerah pedesaan seperti Thekerani. Petugas kesehatan yang dipekerjakan pemerintah sebagian besar ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit tingkat distrik.  Wilayah kerja Pusat Kesehatan Thekerani mencakup daerah yang sangat luas sehingga membutuhkan jumlah dokter dan petugas kesehatan yang juga banyak.

Hari ini, gadis kecil itu datang lagi. Semula saya menyangka dia hanya datang sekedar untuk cek kesehatan rutin. Setelah namanya dipanggil, gadis kecil itu masuk ke ruang konsultasi.

Maswera buanjiI (Selamat sore!)”, sapanya sembari mengetuk lututnya sedikit sebagai tanda penghormatan. Saya membalas salam sembari menanyakan kabarnya. Dia tersenyum simpul dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. “Saya datang ingin memberi singkong untuk pak dokter,” ucapnya sambil menyerahkan sekeranjang singkong yang ia tutupi dengan chitenje (sejenis kain tradisional yang dipakai kaum perempuan; biasanya dikenakan seperti memakai rok). Saya terkejut. Ini sungguh sebuah kejutan manis yang tak pernah kuduga! 

Di sini, di salah satu negara tertinggal di dunia, hidup tidaklah mudah. Ini adalah tempat di mana anak-anak tumbuh besar bersama tebu – yang boleh jadi merupakan ‘jajanan’ paling umum yang biasa mereka cicip setiap hari. Saya tahu sekeranjang singkong sangat berarti sekali bagi mereka -  bahkan singkong sebanyak ini bisa mengisi perut satu keluarga. Ini merupakan hadiah besar untukku. “Zikomo Kwambiri – terima kasih” ucapku sambil tersenyum. 

Lalu saya teringat, saya masih menyimpan beberapa potong cokelat di dalam tas. Saya memberikan cokelat itu padanya sebagai hadiah. Kulihat raut aneh di wajahnya seakan meminta penjelasan tentang ‘benda’ yang saya berikan padanya itu. “Kamu sudah pernah makan cokelat belum?” tanyaku, dan ternyata ia belum pernah sekalipun mencicipi yang namanya cokelat… “Mudah-mudahan kamu suka. Ini salah satu cokelat terlezat di dunia!” kataku, dan kami pun tertawa.

Kemudian dia mohon izin untuk pulang. Kujejalkan tiga potong cokelat lagi ke tangannya untuk dibawa pulang dan dinikmati bersama keluarganya.  
Hari ini, kami bertemu kembali di pusat layanan kesehatan namun pertemuan ini bukan sekadar pertemuan antara dokter dan pasiennya, melainkan antara dua orang teman.…Barangkali, tak akan ada mimpi buruk lagi malam ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com