Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gizi Buruk yang Masih Jadi Momok

Kompas.com - 01/11/2012, 03:39 WIB

Zahwa langsung menangis saat Nani (43), sang ibu, menaruhnya di atas timbangan bayi di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (31/10) siang. Berat tubuh bocah berusia satu tahun tujuh bulan itu hanya 5,9 kilogram. Tubuhnya begitu kurus.

Berat tubuh Zahwa masih jauh dari ambang batas normal anak seusianya yang idealnya 9-10 kilogram.

Nani kemudian mengikuti perawat masuk ke ruang periksa untuk memeriksa suhu tubuh anaknya. Suaminya, Suminta (40), mendampingi istrinya. Hari itu ia sengaja tidak menyopir mobil angkutan kota Parungpanjang-Tenjo karena ingin mengantar anaknya.

Zahwa adalah anak kelima Nani (43) dan Suminta (40), warga Tapos yang tergolong masyarakat miskin. Suminta hanya bekerja sebagai sopir dengan penghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari, sedangkan Nani tidak bekerja. Suminta juga harus membiayai tiga anaknya yang masih bersekolah.

Menurut Nani, anaknya lahir normal dengan berat badan sekitar dua kilogram. Namun, setelah berusia dua bulan Zahwa mulai sakit batuk dan demam. Dia mengaku sudah beberapa kali memeriksakan anaknya ke puskesmas. Selain itu, dalam beberapa kali penimbangan bayi di posyandu, berat badan putrinya selalu masuk kategori kurang gizi.

”Perawat di puskesmas minta supaya Zahwa dirontgen, tapi saya enggak ada uang. Baru dua minggu lalu dirontgen. Katanya ada radang paru,” kata Nani.

Puncak gunung es

Dessy Supriharti, relawan di Bogor Barat yang beberapa kali membawa pasien gizi buruk ke rumah sakit, menilai di Kabupaten Bogor bagian barat kasus anak balita bergizi buruk seperti puncak gunung es.

Masih banyak anak balita bergizi buruk yang belum tersentuh layanan kesehatan memadai. Kawasan Bogor barat memiliki infrastruktur buruk dan sebagian penduduk terbilang miskin.

”Seharusnya lebih banyak turun ke lapangan dan jemput bola. Kalau saya saja bisa menemukan anak-anak gizi buruk kenapa pemerintah tidak bisa. Jangan anggap gizi buruk sebagai aib, tetapi tangani,” katanya.

Kasus gizi buruk tidak hanya dialami Zahwa. Pada 18 Oktober, Warni (2), bocah asal Parungpanjang, juga dirujuk ke RSUD Cibinong karena menderita gizi buruk dan penyakit bawaan cerebral palsy atau gangguan pada otak besar (Kompas, 19/10). Gizi buruk menjadi ancaman yang tidak bisa dianggap sepele di Kabupaten Bogor yang hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Jakarta.

Beberapa kasus gizi buruk muncul akibat akumulasi penyakit bawaan, kemiskinan orangtua, serta masih minimnya kesadaran orangtua memeriksakan anaknya ke posyandu.

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, selama periode tahun 2012, ada 143 anak balita yang terbilang bertubuh kurus (kekurangan gizi) terdeteksi pemerintah. Sementara pada tahun 2011 berjumlah 243 anak balita. Pada tahun 2012 sebanyak lima anak balita gizi buruk meninggal dunia, sementara tahun 2011 ada sembilan anak.

”Namun dari jumlah 143 itu, karena sudah ditangani, hanya tinggal 49 kasus yang masih dalam penanganan,” kata drg Devi Siregar, Kepala Bidang Binaan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.

Menurut dia, dalam beberapa kasus, anak balita bergizi buruk juga disebabkan penyakit bawaan. Mereka juga berasal dari keluarga miskin atau berada di lokasi sulit dijangkau. Pihaknya sudah berupaya mendeteksi anak balita bergizi buruk dengan mengirim kader ke wilayah pelosok. Pihaknya juga sudah memberikan makanan tambahan dan vitamin bagi anak yang terdeteksi gizi buruk.

Tampaknya masih perlu upaya ekstra untuk menyelamatkan anak-anak dari ancaman gizi buruk…. (Antony Lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com