Namun, sopir pusling menolak karena harus menjemput petugas kesehatan dari Puskesmas Tarus di Desa Bokong, 2 kilometer dari Dusun IV. Sekitar pukul 11.30, melintas sebuah pikap. Sopir mobil itu bersedia mengantar Rosalina ke puskesmas.
Pukul 12.00, Rosalina tiba di puskesmas. Petugas berhasil mengeluarkan ari-ari. Namun, kondisinya sudah sangat lemah karena kehilangan banyak darah dan sulit bernapas sehingga dibantu dengan alat pernapasan.
Pihak puskesmas kemudian merujuk Rosalina ke RSUD Yohannes, Kupang, pukul 12.30. Namun, sebelum tiba di rumah sakit, Rosalina mengembuskan napas terakhir.
Catatan Desa Oelpuah, jumlah ibu melahirkan yang meninggal di desa itu 12-16 orang per tahun. Kematian anak balita 24-36 anak per tahun.
Rosalina adalah salah satu dari ratusan, bahkan ribuan, ibu hamil di Nusa Tenggara Timur yang meninggal saat melahirkan. Masalah utama adalah saat proses kelahiran, ditolong dukun bersalin. Jika ada hambatan persalinan, dukun umumnya tak mampu mengatasi. Selain itu, juga infrastruktur transportasi buruk dan persiapan yang minim menghadapi persalinan.
Di Rumah Sakit Umum Timor Tengah Utara, misalnya, pada Januari-Oktober 2012 tercatat 12 kasus kematian ibu melahirkan, dengan kasus seperti Rosalina, kehilangan nyawa karena terlambat dirujuk. Jumlah ini meningkat dibanding periode yang sama tahun 2011, yakni 10 kasus. Bayi lahir dan meninggal pada Januari-September ada 67 kasus. Pada periode yang sama tahun 2011 ada 58 kasus.
Kondisi serupa terjadi di pulau-pulau terpencil. Karena tak ada rumah sakit dan puskesmas, ibu yang persalinannya bermasalah meninggal. Di Pulau Adonara, Flores Timur, Maria Lipah (23) meninggal dalam perjalanan dengan kapal motor menuju RSUD Larantuka karena bayinya lahir sungsang. Di Pulau Baranusa, Alor, 21 ibu melahirkan meninggal karena terlambat sampai di fasilitas kesehatan.