Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penderitaan yang Tak Berujung

Kompas.com - 07/02/2013, 02:37 WIB

”Selain itu, sedimentasi Sungai Citanduy juga menyumbangkan sekitar 760.000 meter kubik lumpur per tahun yang bila tidak segera ditangani ikut menyebabkan kepunahan Segara Anakan dalam 10 tahun ke depan,” ujarnya.

Penyebab kerusakan DAS sudah sering diungkapkan berbagai ahli, praktisi lingkungan, ataupun media massa, antara lain akibat kekeliruan penggunaan lahan di hulu sungai, pencemaran, dan tumpang tindihnya kebijakan pemerintah daerah.

Malah Dewan Pembina Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Solihin GP melihat kerusakan itu terutama disebabkan tidak terkendalinya tindakan bupati dan wali kota. Gubernur seharusnya berani dan berwibawa menempatkan diri pada puncak piramida mengendalikan para bupati dan wali kota. Sebab, kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dilindungi undang-undang dan peraturan pemerintah.

”Gubernur di era reformasi ini lemah dalam leadership membina dan mengendalikan bupati/wali kota di daerah,” ujar mantan Gubernur Jawa Barat ini. Hakikat pembangunan berkelanjutan adalah keadaan yang seimbang antara pro-kesejahteraan rakyat, pro-kemakmuran wilayah, dan pro-kelestarian lingkungan.

Namun, saat ini pembangunan lebih banyak hanya untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak berwawasan lingkungan dan tidak pro-kesejahteraan rakyat. Contohnya eksploitasi pasir besi di pantai selatan Jabar. Perizinan itu seakan diobral untuk menghadapi pemilihan kepala daerah. Yang terjadi kemudian adalah kerusakan alam dan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

Hukum lemah

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Setiawan Wangsaatmaja mencontohkan, PAD di Kabupaten Tasikmalaya hanya Rp 400 juta, padahal untuk rehabilitasi Rp 7,5 miliar. Belum kerugian yang diderita nelayan karena kehilangan potensi lautnya akibat kerusakan pantai.

Selain itu, data BPLHD Jabar menyebutkan, tahun 2011 hanya 3,5 persen kualitas air di tujuh DAS utama di Jabar memenuhi baku mutu. Sebanyak 23,4 persen tercemar ringan, 11,3 persen tercemar sedang, dan 61,7 persen tercemar berat.

Tren air di Jabar makin lama makin langka. Pada 2012, berdasarkan indeks kelangkaan air, Jabar sebetulnya sudah masuk dalam kategori kekurangan air.

Kondisi itu, ujar Solihin, diperparah dengan perilaku dan budaya yang tidak ramah lingkungan serta melecehkan kearifan lokal, baik dari sisi perilaku birokrasi maupun perilaku pemodal dan kelompok masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri.

Di lain pihak, penegakan hukum masih sangat lemah, tidak konsekuen, dan tidak konsisten. Pada gilirannya, lemahnya hukum ini makin merusak lingkungan dan menimbulkan bencana serta berpengaruh pada ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Solihin berharap, gubernur cepat tanggap dengan langkah nyata untuk pemulihan lingkungan. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai segera ditindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah agar DAS segera dipulihkan kembali fungsinya untuk kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan.

PP No 37/2012 sangat komprehensif karena mengacu pada 5 undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (CHE/ELD/DMU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com