Jakarta, Kompas
Rima Tedjasukmana, dokter spesialis saraf dari Indonesia Sleep Society, dalam pertemuan dengan media, Rabu (27/3), di Jakarta, mengatakan, gangguan bernapas saat tidur (obstructive sleep apnea/OSA) disebabkan sumbatan pada jalan napas yang ditandai dengan berhentinya napas saat tidur. Hal itu menyebabkan jumlah oksigen yang terhirup berkurang.
”Napas terhenti selama sekitar 10 detik dan bisa terjadi berulang- ulang. Dalam kasus berat, henti napas bisa terjadi 100-150 kali per jam,” kata Rima.
Orang yang memiliki berat badan berlebih (obesitas), demikian Rima, lebih berisiko menderita OSA. Gangguan bernapas saat tidur juga dapat disebabkan kondisi fisik, seperti bentuk leher yang pendek, rahang kecil, tulang hidung bengkok, dan langit-langit mulut yang tinggi. Pada orang dewasa, prevalensinya 2-4 persen dengan angka kejadian OSA tidak terdiagnosis mencapai 82 persen pada laki-laki dan 93 persen pada perempuan.
”Pada anak-anak, biasanya karena amandel membesar,” kata Rima. Berbeda dengan kondisi pada orang dewasa, anak-anak yang mengalami OSA cenderung kurus. Gangguan tidur pada anak menghambat hormon pertumbuhan sehingga berat badannya rendah.
Menurut Rima, pada kasus OSA ringan, mengurangi berat badan dan mengurangi konsumsi alkohol bisa menjadi terapi, selain mengubah posisi tidur dari telentang menjadi miring. Pengobatan oral dan pembedahan dapat dilakukan. Alat continuous positive airway pressure (CPAP), yakni mesin yang membantu penderita OSA bernapas lebih lancar saat tidur, juga dapat digunakan.
Bambang Budi Siswanto, dokter ahli jantung dan pembuluh darah dari Pusat Jantung Nasional Rumah Sakit Harapan Kita, mengatakan, gangguan tidur yang mengakibatkan turunnya jumlah oksigen ke jaringan tubuh, termasuk ke jantung dan otak, dalam jangka panjang dapat berakibat fatal. Selain mengganggu sistem saraf, juga mengakibatkan hipertensi, penebalan otot jantung sehingga tidak efisien dan menyebabkan gagal jantung. Penyakit lain yang potensial adalah darah kental, diabetes, hingga stroke.
Saat ini, terapi gangguan tidur menjadi solusi untuk mencegah penyakit jantung dan perburukan penyakit jantung. Pada penderita gagal jantung yang diterapi gangguan tidurnya, sebagian besar kondisinya membaik.
Bambang mengimbau masyarakat mewaspadai gangguan bernapas saat tidur agar potensi munculnya penyakit serius dapat ditekan.