Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/08/2014, 14:45 WIB

KOMPAS.com -
Apakah Anda selalu makan dengan penuh kesadaran hati dan pikiran? Demi kesehatan, sebagian kaum urban kini lebih serius dalam memilih makanan. Dari sepiring makanan terpilih itu, pendulum gaya hidup bergerak mencari keseimbangan dan kebajikan.

Sophie Navita (38) duduk dengan takzim di salah satu ujung meja makan. Di kedua sisi meja, sepuluh peserta kelas ”masak” raw food (masakan mentah) duduk berjajar menemaninya. Setelah bergulat di dapur, kini mereka bersiap menyantap hasil ”masakan” mereka sendiri.

Ruang makan yang tertata cantik, tenang, dan terang di Pakubuwono Residence, Jakarta, siang itu membuat para peserta seperti terbawa suasana yang menenteramkan. Sophie lalu mengajak semua peserta menikmati makanan dengan penuh kesadaran hati dan pikiran. Dimulai dengan berdoa dan rasa syukur sepenuh hati.

”Banyak sekali orang yang sudah terlibat sehingga makanan ini bisa sampai ke meja kita. Dan, banyak orang yang tak bisa makan seperti kita sehingga membuat kita ingat untuk tidak makan berlebihan,” kata Sophie, yang kini serius menjalani profesi sebagai chef dengan spesialisasi pada olahan raw food.

Semua peserta lalu diminta bersantap dalam diam selama 15 menit pertama. Mereka makan dalam sunyi dan merasakan setiap lumatan makanan di mulut. Interaksi dengan sesama peserta cukup dalam bentuk kontak mata, senyuman, ataupun anggukan. Ketenteraman pun menyelimuti ruangan.

”Kita biasanya sering makan sambil melakukan kegiatan lain, sambil balas e-mail, atau nonton TV kan?” ujar Sophie, yang pernah mengikuti sekolah masak bersertifikat di Living Light Culinary Institute di California, Amerika Serikat.

Menu yang tersaji di meja siang itu mungkin bisa membuat orang mengernyitkan dahi. Tak ada nasi. Nyaris semuanya berupa dedaunan segar alias sayuran mentah yang dinikmati dengan aneka saus yang dibuat sendiri dari kacang-kacangan dan biji-bijian mentah tanpa kandungan hewani dan perasa artifisial. Tak disangka, menu seperti itu mampu membuat perut terpuaskan tanpa meronta lapar, dan lidah pun terpesona oleh cita rasa yang segar dan nikmat.

Raw food tengah menjadi buah bibir. Pola makan ini tak serta- merta harus dilabel sebagai bentuk diet, seperti halnya aneka diet yang pernah ngetren. ”Saya mau cari sehat karena di sekitar saya banyak teman yang sakit berat. Saya sendiri punya kelainan tiroid. Sejak setahun ini coba ubah pola makan. Selalu makan sayur mentah lalapan atau salad dan lauk protein hewani. Sekarang saya lebih baik,” kata Yuni (38), peserta raw food cooking class dari Bandung, Jawa Barat.

Namun, Sophie mengingatkan, popularitas raw food jangan ditelan mentah-mentah. Artinya, asal serba mentah pasti baik. Misalnya saja membombardir smoothie sayuran mentah dengan segala macam buah manis yang tinggi kandungan fruktosanya.

”Bukan jadi sehat malah bisa makin sakit. Apalagi buat yang sudah sakit, seperti punya diabetes atau kanker. Begitu juga dengan segala pengganti gula, harus hati-hati. Aneka cake yang disebut raw, tetapi ditimpa segala pengganti gula pasir lalu dikonsumsi berlebihan ya tetap tidak sehat,” ujar Sophie yang juga giat berkampanye ”Indonesia Makan Sayur” sejak setahun lalu.

Tengok saja sejumlah akun di media sosial Instagram yang dipenuhi aneka dagangan makanan dan minuman dengan tanda #rawfood. Gaya makan tersebut mulai terkomodifikasi layaknya fashion diet, tanpa disadari benar-benar manfaat, akibat, dan risiko dari setiap bahan yang digunakan, sekalipun diklaim sehat.

Jauh sebelum istilah raw food memetik popularitas di Indonesia, dokter ahli gizi Tan Shot Yen telah menekankan pentingnya pola makan sehat seimbang berupa karbohidrat baik, protein, serta lemak, dan terutama selalu menyertakan sayuran mentah setiap hari. Hal ini karena sayuran mentah masih mengandung enzim yang membuat vitamin, mineral, dan hormon bisa bekerja maksimal untuk kebaikan tubuh. Sementara sayuran matang lebih sekadar sebagai penyumbang serat.

Yang tak kalah penting, dr Tan menegaskan bahwa sumber karbohidrat terbaik adalah sayuran mentah dan buah segar. Bukan nasi, roti, ataupun umbi berpati. Bahan pangan yang dilabeli makanan pokok tersebut menurut dr Tan lebih sarat kepentingan politis dan ekonominya ketimbang kepentingan kesehatan yang hakiki bagi rakyat banyak.

Dalam bukunya berjudul Sehat Sejati yang Kodrati, dr Tan menjelaskan, insulin yang melonjak akibat konsumsi karbohidrat buruk dan gula membuat keluarnya hormon eikosanoid buruk. ”Ini yang bikin pembuluh darah menyempit, darah mengental, daya tahan tubuh menurun, memicu pertumbuhan bakteri, virus, jamur, kista, tumor, dan kanker,” kata dr Tan, yang beberapa bulan lalu menuntaskan program doktoralnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan disertasi terkait asupan sayur bagi penderita diabetes tipe 2.

Pada prinsipnya, dr Tan menekankan pentingnya mengonsumsi pangan utuh (whole foods), bukan proses pabrikan. Makanan ala nenek moyang yang tak mengenal produk pangan hasil teknologi dan keluaran pabrik, menurut dia, yang terbaik bagi manusia. Pasien tak boleh selamanya bergantung pada obat dan tak memperbaiki pola makan.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau