”Kalau rumah sakit swasta yang menyasar masyarakat kelas menengah tak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, maka saat semua warga negara sudah menjadi peserta JKN, mereka tidak akan bisa bertahan hidup,” kata Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi, di Jakarta, Sabtu (13/9).
Adapun RS swasta kelas atas tetap akan bisa bertahan hidup karena pasarnya tersedia. Kelompok masyarakat kelas atas biasanya memanfaatkan RS swasta kelas atas sebagai alternatif berobat selain ke luar negeri.
Jika bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, hal itu demi mengakomodasi konsumen yang tidak mau rugi, yaitu memanfaatkan kepesertaan dalam JKN yang iurannya murah plus keikutsertaan dalam asuransi kesehatan swasta. Selisih tarif dengan yang ditetapkan BPJS Kesehatan itu yang ditanggung asuransi swasta.
Hingga awal September, 1.551 RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, 600 RS di antaranya adalah RS swasta. Menurut data Kementerian Kesehatan, dari 2.360 RS di Indonesia, ada 733 RS swasta nonprofit, 701 RS swasta profit, dan 66 RS swasta BUMN. Adapun 860 RS pemerintah wajib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Irfan menyatakan, kini ada sejumlah RS swasta ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun, ada sejumlah RS swasta belum jelas tipenya. Bahkan, ada sejumlah RS swasta dikategorikan BPJS Kesehatan sebagai klinik pratama karena terlalu kecil. Untuk RS swasta kelas atas, belum ada yang mengajukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
”BPJS Kesehatan belum bisa bekerja sama dengan RS yang belum ditetapkan tipenya oleh Menteri Kesehatan,” katanya. Kejelasan tipe itu dipakai sebagai dasar penentuan tarif layanan. Selain itu, belum disetujuinya permohonan kerja sama RS itu untuk menjaga mutu layanan bagi peserta JKN.
Pihaknya juga mengecek prasyarat fasilitas kesehatan dan dokter praktik mandiri yang ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. ”Kami harus memastikan surat tanda registrasi dan izin praktik dokter masih berlaku,” katanya.
Belum tertarik
Menanggapi masih ada keengganan sejumlah RS swasta bergabung dengan BPJS Kesehatan karena tarif dianggap terlalu rendah, Irfan mengatakan, tarif ditentukan para ahli, melibatkan berbagai pihak dengan mengumpulkan tarif layanan dari berbagai tipe RS. Hasilnya, tarif paket layanan RS untuk tindakan sama bisa berbeda berkali lipat.
”Perbedaan terjadi karena ada layanan yang diberikan sesuai kebutuhan pasien atau sesuai keinginan RS,” ujarnya. Perbedaan antara kebutuhan dan keinginan itu yang ingin dijembatani lewat sistem tarif INA-CBGs (Indonesia-Case Based Group).
Ketentuan tarif INA-CBGs itu yang memaksa RS untuk efisien dalam memberi layanan. Proses adaptasi itu yang kini berlangsung dan butuh waktu hingga RS memperoleh keseimbangan baru dengan memberi layanan sesuai kebutuhan, bukan keinginan.
Sementara itu sejumlah pengelola RS swasta belum tertarik bergabung dengan program JKN meski ada penyesuaian tarif sebagian kelompok layanan pada INA-CBGs. Selain perbedaan tarif dengan RS, masih perlu penyesuaian sikap tenaga medis. ”Perlu ada penyesuaian mental di kalangan dokter, terutama terkait penggunaan alat,” kata Direktur RS Gading Pluit Barlian Sutedja.
Dokter belum siap memberi layanan dan memakai alat pada pasien disesuaikan tarif JKN. ”Yang dikhawatirkan, pelayanan yang diberikan belum cukup. Misalnya dokter harus melakukan CT-scan pada pasien, tapi itu tak tercakup tarif JKN,” katanya.
Direktur RS Premier Jatinegara Handojo Rahardjo menyatakan, selisih tarif baru JKN dengan selisih tarif di RS Premier Jatinegara 30-40 persen. Jika selisihnya hanya 20 persen, pihaknya siap ikut program itu. Pertimbangan lain adalah jika pemerintah menyesuaikan tarif pajak untuk perangkat yang dipakai di RS. (MZW/A01)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.