Oleh: M Zaid Wahyudi
KOMPAS.com - Beberapa pekan terakhir, pembegalan sepeda motor marak di sejumlah daerah, khususnya di seputaran Jakarta. Perampasan dengan kekerasan itu kerap sadis sehingga tak hanya motor yang hilang, nyawa pun melayang. Kekhawatiran merebak di masyarakat, khususnya mereka yang harus beraktivitas dan berkendara pada malam hari.
Keresahan atas pembegalan itu membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (27/2), meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meneliti penyebab maraknya pembegalan motor dan mencari solusinya.
Anies di Bandung, seperti dikutip Antara, Sabtu (28/2), menilai kekerasan sejumlah pembegal muda disebabkan banyak hal, salah satunya video game kekerasan di masyarakat. Gim kekerasan itu membuat mereka sulit membedakan kekerasan di dunia maya ataupun nyata.
Maraknya video game di masyarakat tak lepas dari besarnya pasar gim di Indonesia. Besarnya penjualan telepon pintar dan kian baiknya akses internet kian meningkatkan penjualan gim. Belum lagi, munculnya banyak tempat penyewaan video game yang buka 24 jam.
Tahun lalu, periset pasar gim Newzoo menaksir penjualan aneka gim di Indonesia mencapai 146,7 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,9 triliun. Jumlah itu tak termasuk penjualan perangkat keras penunjang permainan.
Meski banyak anak bermain gim, kelompok terbesar yang memainkan gim justru orang dewasa muda. Rata-rata, umur pemain gim adalah 34 tahun. Gim juga bukan permainan khusus laki-laki. Empat puluh persen pemainnya perempuan.
Gim kekerasan
Masifnya peredaran gim kekerasan memang mengkhawatirkan banyak kalangan. Lebih lagi, gim yang menampilkan adegan meninju, menendang, memukul, menembak, dan sejenisnya justru paling diminati.
Mirra Noor Milla dalam Pengaruh Terpaan Kekerasan Media Audio-Visual pada Kognisi Agresif dan Afeksi Agresif: Studi Meta Analisis di Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Volume 33 Nomor 2, 2006 menyebut kekerasan media audio-visual, termasuk video game, memengaruhi agresivitas kognisi (memproses pengetahuan) dan afeksi (emosi) seseorang.
Mirra yang kini dosen psikologi sosial di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, Jumat (6/3), mengatakan, dampak kekerasan video game lebih besar dibanding media audio-visual lain. Gim mengajak pemainnya terlibat langsung dalam kekerasan, tidak sekadar memberi pengetahuan kekerasan seperti pada televisi atau film.
"Tayangan kekerasan itu akan membentuk skrip atau skema agresif dalam kognisi dan afeksi seseorang sehingga ia tahu cara melakukan kekerasan," katanya. Proses permainan gim yang diulang-ulang akan mengurangi sensitivitas seseorang terhadap kekerasan. Akibatnya, kekerasan justru dianggap wajar.
Namun, terbentuknya skrip kekerasan pada kognisi dan afeksi itu tak otomatis menjadikan semua pemain gim kekerasan jadi agresif. Skrip agresif itu bisa diaktifkan jika kondisi mendukung dan ada kelompok rujukan berlaku agresif.
"Pendidikan dan pola asuh yang baik serta lingkungan yang tidak mendukung kekerasan membuat skrip agresif yang tertanam tidak akan aktif," ujarnya.
Tayangan kekerasan juga tidak selalu memunculkan skrip agresif. Skrip yang tertanam bisa sebaliknya, yaitu kekerasan tidak boleh dilakukan jika anak yang menyaksikan kekerasan itu didampingi orang dewasa yang mampu menjelaskan kenapa kekerasan itu terjadi dan mengapa itu tidak boleh dilakukan.