Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/04/2015, 16:00 WIB

Oleh: J.Galuh Bimantara

Penyakit meningitis atau radang pada selaput otak menjadi bahan pembicaraan publik, termasuk media massa, dalam sepekan terakhir. Ini lantaran berpulangnya Olga Syahputra, Jumat (27/3), disertai kabar salah satu presenter kondang televisi itu sebelumnya menderita meningitis. Namun, meningitis hanya satu bagian dari radang terkait otak. Ada pula radang otak, dengan nama ensefalitis.

 ”Sangat jarang orang hanya menderita meningitis, karena posisi selaput dengan otak sangat dekat,” ujar Mursyid Bustami, Direktur Utama Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Selasa (31/3), di Jakarta. Karena itu, sebutan yang lebih tepat adalah meningoensefalitis.

Meningoensefalitis terbentuk dari tiga kata bahasa Yunani: menix (membran atau selaput), enkephalos (otak), dan akhiran itis yang dalam bahasa medis berarti radang. Jika dipisahkan, meningitis berarti radang pada selaput otak dan ensefalitis adalah radang pada organ otak. Penyebabnya beragam, di antaranya bakteri, virus, dan jamur.

Pusat Pengendalian dan Prevensi Penyakit (CDC) Amerika Serikat mencatat, Neiserria meningitidis merupakan salah satu bakteri utama penyebab meningitis akibat bakteri. Di dunia, meningitis akibat jenis bakteri itu terbanyak terjadi di kawasan sub-sahara Afrika, dikenal sebagai ”sabuk meningitis”. Daerah endemis tinggi terbentang dari Senegal ke Etiopia, biasanya terjadi pada musim kering (tingkat insidensi 10-100 kasus per 100.000 populasi).

Sayang, Indonesia belum punya data tahunan terkait infeksi itu. Jumlah kasus sempat tinggi pada 1980-an, lalu menurun seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Akibatnya, penyakit itu kurang mendapat perhatian serius. Namun, belakangan ini kasus meningoensefalitis kembali muncul. Menurut Mursyid, itu kemungkinan akibat kian banyak kasus kuman tuberkulosis resisten obat dan meningkatnya penyakit terkait daya tahan tubuh seperti HIV/AIDS.

Secara umum, gejala meningitis berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan kaku kuduk. Penderita kemungkinan sudah terkena ensefalitis jika ada tambahan gejala berupa penurunan kesadaran. ”Jika lebih berat, bisa kritis,” ujar Mursyid.

Ada pula beberapa gejala berbeda akibat ensefalitis menyerang bagian otak berbeda. Misalnya, infeksi mengenai bagian otak untuk mengoordinasikan gerak kaki dan tangan bagian sebelah, gejala yang muncul bisa lemahnya bagian tubuh sebelah seperti penderita stroke. Jika terkena bagian pengatur kemampuan kognitif, bisa menurunkan kemampuan berpikir.

Mursyid menjelaskan, ada dua jenis meningoensefalitis, yakni akut dan kronis. Meningoensefalitis akut datang tiba-tiba akibat virus dan bakteri, misalnya bakteri N meningitidis, Streptococcus pneumoniae, dan Listeria monocytogenes.

Untuk yang kronis atau menahun, penyebabnya antara lain kuman seperti kuman tuberkulosis dan parasit Toksoplasma gondii. Jumlah kasus yang akut dan kronis hampir sama, tetapi di Indonesia lebih umum meningoensefalitis kronis.

Sulit menular

Pengobatan utama pasien meningoensefalitis adalah pemberian antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan dan lama terapi tergantung dari mikroorganisme penyebab infeksi. Misalnya, infeksi karena kuman TB, antibiotik juga untuk terapi TB pada paru-paru, dipilih yang bisa menembus sel pertahanan otak.

Karena itu, dokter harus tahu mikroorganisme penyebab meningoensefalitis pada pasien agar bisa memilih antibiotik yang tepat. Caranya, mengambil cairan otak lewat sumsum tulang belakang.

”Penyakit ini sulit menular. Namun, sekali kena, kemungkinan kematiannya tinggi,” kata Mursyid. Alasannya, sistem pertahanan otak hebat. Selaput otak tergolong bagian dari sistem pertahanan itu. Ada juga sawar darah otak (blood brain barrier). Sistem itu berfungsi melindungi otak, termasuk dari cedera dan infeksi.

Hal itu membuat mikroorganisme pemicu meningoensefalitis sulit mencapai otak. Namun, tetap ada kuman atau virus ”bandel” dan tak mampu ditahan sistem itu. Jika mikroorganisme itu mampu mencapai otak, pengobatan menjadi sulit karena harus mencari antibiotik spesifik yang juga bisa menembus pertahanan otak.

Akibatnya, dokter harus memberi dosis antibiotik lebih tinggi bagi terapi infeksi pada otak dibandingkan pada infeksi bagian lain. Kadang, bisa 3-4 kali dibandingkan infeksi di bagian tubuh lain. ”Ini karena kemampuan obat menembus pertahanan otak minim, ada yang 15 persen, ada yang 20 persen,” ucap Mursyid.

Pengobatan pun lebih lama dibandingkan penyakit biasa. Contohnya, pasien TB harus mengonsumsi obat tanpa putus selama enam bulan, sedangkan pasien meningoensefalitis akibat TB mengonsumsi obat sama tanpa putus selama 9-12 bulan.

Hal lain yang menyebabkan infeksi itu punya tingkat kematian tinggi adalah bagian vital otak terdesak jika ada bengkak. Jika mendesak batang otak, fungsi tubuh berhenti, termasuk fungsi bernapas.

Dokter spesialis penyakit dalam dari Divisi Alergi Imunologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Iris Rengganis, mengatakan, sudah ada vaksin untuk mengurangi risiko tertular meningoensefalitis. Vaksin itu khusus untuk meningoensefalitis meningokokus yang disebabkan N meningitidis.

Efektivitas vaksin itu 80-90 persen, bergantung pada kondisi daya tahan penerima vaksin. Jemaah haji dan umrah yang akan ke Arab Saudi wajib mendapat vaksin itu paling lambat dua pekan sebelum berangkat.

Mursyid menambahkan, pencegahan utama adalah menjalankan gaya hidup sehat dan tinggal di lingkungan sehat demi menjaga daya tahan tubuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau