JAKARTA, KOMPAS.com - Peredaran obat palsu marak terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Yang mengkhawatirkan, konsumsi obat palsu dapat mengancam kesehatan masyarakat.
Kepala Sub Direktorat inspeksi dan Sertifikasi Distribusi Produk Terapetik, Direktorat Produk Pengawasan Terapetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Eka Purnamasari mengungkapkan, obat yang paling dipalsukan antara lain, obat disfungsi ereksi, obat penghikang rasa nyeri, dan antibiotik.
"Yang paling banyak dipalsukan itu obat disfungsi ereksi. Mungkin melihat kebutuhan masyarakat," kata Eka di Jakarta, Senin (31/10/2016).
Berdasarkan data BPOM, terdapat 17 merek obat palsu pada periode Januari hingga Juni 2016. Obat yang dipalsukan itu didominasi oleh obat disfungsi ereksi, antibiotik, antihipertensi, antipiretik-analgetik, dan antihistamin.
Obat-obatan tersebut beredar di masyarakat tanpa izin pemerintah dan uji laboratorium. Tidak dapat dipastikan kandungan apa saja yang terdapat dalam obat palsu maupun ilegal. Proses pembuatannya pun sudah pasti tidak sesuai standar, sehingga berisiko tinggi mengalami kontaminasi bakteri.
Menurut Eka, obat yang dipalsukan biasanya obat yang harganya mahal dan memang banyak dicari oleh masyarakat.
"Misalnya kalau membeli viagra bisa lebih mahal," kata Eka. Padahal, konsumsi viagra pun seharusnya dengan resep dokter.
Begitu pula dengan antibiotik. Jika membelinya secara sembarangan, bisa saja mengonsumsinya dengan dosis yang tidak tepat. Ini tentu dapat menyebabkan resistensi.
Biasanya, obat palsu pun dijual dengan harga yang lebih murah. Obat-obatan palsu dijual di toko-toko obat tidak resmi atau tidak berizin dan dijual secara online. Maka pastikan membeli obat-obatan di tempat resmi dan tidak membeli sembarang obat tanpa resep dokter.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.