Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter: Rokok Elektrik Bisa Lebih Berbahaya Ketimbang Rokok Tembakau

Kompas.com - 23/03/2020, 16:00 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

KOMPAS.com - Rokok masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan di Indonesia.

Belum juga selesai dengan masalah rokok tembakau, berbagai pihak yang peduli akan persoalan ini kini harus juga menghadapi ancaman rokok elektrik

Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P (K), FISR, menjelaskan rokok elektrik pada mulanya dianggap aman bagi kesehatan karena tidak mengandung bahan-bahan berbahaya.

Baca juga: Riset dan Ahli Ungkap Merokok Bisa Tingkatkan Risiko Infeksi Virus Corona

Bahaya rokok elektrik

Namun, berkembangnya waktu, beberapa penelitian telah mengungkap bahwa rata-rata rokok elektrik sekarang mengandung pula zat-zat berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kematian.

"Untuk penggunaan rokok elektrik sebaiknya setop, jangan dipakai lagi, efek jeleknya sama saja dengan rokok kretek atau rokok filter," jelas Yusup saat diwawancara Kompas.com, Minggu (22/3/2020).

Bahkan, kata dia, beberapa riset telah mengungkap rokok elektrik lebih berbahaya ketimbang rokok konvensional.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diketahui juga sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaan rokok elektrik sebagai terapi pengganti nikotin atau rokok tembakau.

"Rokok elektrik juga merupakan pemicu kanker, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan penyakit jantung," kata Yusup.

Bukan hanya itu, berdasarkan informasi yang dia peroleh, Yusup mengungkapkan, tidak jarang ditemukan juga fenomena bahwa kadar nikotin pada rokok elektrik ternyata berbeda dengan informasi yang tertera di label isi ulang.

Hal itu jelas riskan mengingat tubuh bisa jadi terpapar lebih banyak nikotin yang merupakan zat adiktif berbahaya.

"Rokok elektrik bahkan tidak ada lisensi dari lembaga yang memberi lisensi ACC atau tidak," ungkap Yusup.

Baca juga: Mengenal Gejala Penarikan Nikotin yang Bikin Susah Berhenti Merokok

Menurut dia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia pernah mendapati sejumlah senyawa berbahaya yang terkandung di dalam maupun yang dihasilkan rokok elektrik.

Beberapa zat berbaya itu, antara lain:

  • Tobacco-specific Nitrosamine (TSNAs) yang bersifat toksik
  • Diethylene Glycol (DEG) yang dikenal sebagai karsinogen
  • Logam berupa partikel timah, perak, nikel, aluminium, dan kromium di dalam uap elektrik dengan ukuran yang sangat kecil (nano-partikel) sehingga sangat mudah masuk ke dalam saluran napas di paru
  • Karbonil, yakni karsinogen potensial berupa formaldehida, asetaldehida, akrolein, dan senyawa organik volatil (VOCs) seperti toluena dan pm-xylene
  • Kumarin, tadalafil, rimonabant, serat silika yang dapat menjadi racun dan tidak memenuhi unsur keamanan
  • Diacetyl merupakan zat yang muncul sebagai sisa dari rokok elektrik adalah yang dapat merusak paru-paru
  • Zat benzene juga dilaporkan muncul dari rokok elektronik. Benzene diketahui adalah zat beracun yang bisa ditemui pada asap kendaraan bermotor dan logam berat

"Oleh sebab itu, klaim rokok elektrik bisa membantu berhenti atau mengurangi konsumsi rokok tembakau adalah sebuah kekeliruan sekarang. Rokok elektrik yang ada malah bikin makin kecanduan dan lebih membahayakan," tegas Yusup.

Baca juga: Harga Rokok Tahun 2020 Naik, Dokter: Saatnya Berhenti Merokok!

Menambah perokok aktif

dr. Yusup menilai keberadaan rokok elektrik justru berpotensi menambah jumlah perokok aktif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau