KOMPAS.com - Terapi plasma konvalensen menjadi harapan pasien Covid-19 di dunia.
Selama ini, memang belum ada obat yang terbukti aman dan efektif untuk mengobati Covid-19.
Namun, para peneliti telah membuktikan penggunaan plasma darah dari pasien Covid-19 yang telah pulih bisa mengobati orang lain yang menderita penyakit ini.
Melansir data Mayo Clinic, orang yang berhasil pulih dari Covid-19 mengandung antibodi.
Antibodi merupakan molekul yang telah mengenali dan mampu melawan patogen, seperti virus, yang menyebabkan penyakit.
Baca juga: 8 Ciri-ciri Kanker Payudara Tahap Awal, Tak Selalu Benjolan
Itu sebabnya, peneliti berharap plasma darah dari orang-orang yang telah pulih dari infeksi virus corona bisa meningkatkan kesembuhan orang yang masih berjuang melawan virus tersebut.
Cara ini diharapkan dapat membantu sistem kekebalan tubuh pasien untuk memerangi virus dengan lebih efisien.
Terapi pemberian plasma darah ini juga diklaim bisa mencegah komplikasi dari infeksi Covid-19.
Maka dari itu, para ahli kesehatan berharap mereka yang telah pulih dari Covid-19 bisa mendonorkan darah mereka untuk menekan angka kematian infeksi virus ini.
Terapi plasma konvalensen untuk memerangi infeksi virus corona telah diuji oleh sekelompok peneliti dan dokter di AS.
Penelitian yang diberi nama "Proyek Plasma Konvensional COVID-19 Nasional AS" itu telah diterbitkan dalam The Journal of Clinical Investigation pada Maret 2020.
Dalam riset tersebut, peneliti berpendapat bahwa terapi plasma darah konvalensen memiliki manfaat potensial untuk pengobatan Covid-19.
Gagasan mengenai penggunaan plasma darah ini telah ada sejak akhir abad ke 19 ketika fisiolog Emil von Behring dan ahli bakteriologi Kitasato Shibasaburou menemukan antibodi yang ada dalam komponen darah untuk melawan infeksi bakteri diptheria.
Sejak saat itu, dokter telah menggunakan terapi antibodi ini untuk mengobati atau mencegah infeksi bakteri dan virus, termasuk bentuk pneumonia, meningitis, dan campak.
"Jadi itu ide lama, dan saya pikir penelitian ini bertujuan untuk mengingatkan teman-teman saya, pihak berwenang, bahwa terapi ini untuk mengatasi pandemi ini," ucap Dr. Arturo Casadeval, selaku pemimpin riset.
Penelitian terbaru telah menunjukkan orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 telah mengembangkan antibodi yang dapat bereaksi terhadap virus corona.
“Sekarang ada beberapa penelitian yang menunjukkan ketika orang pulih dari virus, mereka memiliki antibodi penawar darah yang mampu membunuh virus,” tambah Dr. Casadevall.
Baca juga: Osteoarthritis: Gejala, Penyebab, Cara Mengobati, dan Cara Mencegah
Meski demikian, Dr Casadevall menyatakan terapi ini bisa saja tidak berjalan efektif karena kebanyakan pasien merespon terapi terlalu lambat.
Riset yang diterbitkan dalam National Library of Medicine juga menyebut terapi ini bisa menyebabkan reaksi alergi dan anafilaksis, cedera paru akut dan hemolisis pada beberapa orang.
Efek samping bisa ringan hingga fatal, tergantung kondisi tubuh orang tersebut.
Itu sebabnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) juga menyetujui penggunaan terapi ini hanya untuk situasi darutat.
Terlepas dari hal itu, terapi ini memberi harapan baru untuk mengakhiri pandemi Covid-19 daripada pemberian vaksin dan obat yang pengembangannya membutuhkan waktu lebih lama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.