SETELAH COVID-19 menjadi pandemi, kini sejumlah negara mulai menyatakan COVID-19 sebagai suatu endemi.
Dari awal pandemi hingga data 6 Juli 2022, COVID-19 telah menginfeksi sebanyak 552,5 juta jiwa dan mengakibatkan kematian sebanyak 6,3 juta jiwa.
Indonesia tidak ketinggalan mengalami dampak dari pandemi tersebut dengan cakupan kasus mencapai 6,1 juta jiwa dan kematian mencapai 156.770 jiwa selama masa pandemi.
Sebagai upaya untuk menangani pandemi, maka diberlakukan semacam restriksi berupa semi-lockdown yang dinamakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bertingkat dari 1-4 serta vaksinasi hingga tahap booster.
Sayangnya, ketika Indonesia mulai menurunkan level PPKM demi memasuki era endemi COVID-19, muncul Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5 yang kembali meningkatkan angka infeksi COVID-19 di Indonesia.
Data bulan Mei, angka infeksi sudah di bawah 1000 per harinya. Namun, kini kembali meningkat hingga mencapai lebih dari 2.500 kasus per harinya.
Dengan demikian, yang menjadi perhatian seluruh pihak adalah menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa”, dan “bagaimana”.
Mengapa infeksi COVID-19, terutama Omicron Subvariant BA.4 dan BA.5, bisa kembali meningkat walaupun vaksinasi massal sudah diberlakukan?
Apa dampak dari infeksi subvarian baru COVID-19 tersebut? Serta bagaimana melakukan prevensi dan tatalaksana terhadap subvarian baru COVID-19?
Mengapa Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5 merajalela?
Pertama, kita harus mengenal apa itu varian dan subvarian. Virus memiliki kemampuan untuk bermutasi yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan organisme lainnya, termasuk bakteri.
Mutasi berarti terjadi perubahan kode genetik tunggal, terutama pada saat virus mengalami replikasi.
Sedangkan, varian merupakan virus yang telah mengalami mutasi sebanyak satu kali atau lebih.
Varian COVID-19 yang diketahui hingga saat ini adalah varian alfa, beta, delta, gamma, epsilon, kappa, zeta, eta, theta, iota, lambda, dan omicron.
Dari sekian banyak varian, hanya beberapa yang masuk sebagai Variant of Concern (VoC), yaitu alfa, beta, gamma, delta, dan Omicron. Saat ini, yang menjadi VoC utama adalah varian Omicron.
VoC merupakan varian yang spesial, karena memiliki kemampuan transmisibilitas yang tinggi, infeksi lebih berat (angka rawat rumah sakit dan kematian yang tinggi), serta tingkat infeksi yang tinggi bahkan pada pasien yang sudah divaksinasi.
Varian Omicron cukup unik karena memiliki kemampuan penyebaran dan replikasi yang tinggi, karenanya mutasi lebih sering terjadi dan melahirkan beberapa subvarian dari BA.1 hingga BA.5.
Subvarian, secara definisi sebenarnya mirip dengan varian, yaitu terjadinya mutasi satu atau lebih pada virus. Namun karena perubahannya sangat minimal (tidak signifikan) dan masih memiliki kemampuan yang kurang lebih sama dengan varian induknya, maka tidak dianggap sebagai varian baru.
Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 pertama kali dideteksi di Afrika Selatan bulan Januari dan Februari 2022, hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia.
Secara global, per tanggal 16 Juni 2022, subvarian BA.4 menginfeksi 8 persen dari penduduk dunia dengan 69,31 persennya berasal dari Afrika Selatan, Amerika, dan Inggris.
Begitu pula dengan subvarian BA.5 yang sebagian besar dideteksi di Afrika Selatan dan negara-negara Eropa.
Tidak ketinggalan, Indonesia akhirnya kembali mengalami peningkatan angka kasus infeksi COVID-19 karena dua subvarian tersebut.
Subvarian BA.4 dan BA.5 Omicron mulai dideteksi di Indonesia sejak 6 Juni 2022 dan menjadi subvarian COVID-19 yang secara dominan menginfeksi di Indonesia.
Kemampuan penyebaran infeksi dua subvarian tersebut sangat tinggi karena adanya kemampuan untuk melakukan manuver immune escape. Artinya lebih mudah menghindari antibodi yang terbentuk akibat infeksi COVID-19 yang sebelumnya atau akibat dari vaksin yang diberikan.
Apa dampak infeksi COVID-19 Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5?
Gejala yang paling sering dihadapi oleh pasien yang mengalami infeksi Omicron subvarian BA.4 dan BA.5 adalah infeksi ringan, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, nyeri otot, batuk, demam, dan cepat lelah.
Tidak seperti varian COVID-19 sebelumnya, orang yang terinfeksi subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 tidak memiliki gejala berupa anosmia (hilangnya kemampuan menghidu) ataupun ageusia (hilangnya kemampuan mengecap), hingga sesak napas berat.
Karenanya, angka kematian akibat infeksi Omicron dibandingkan dengan varian sebelumnya seperti varian delta jauh lebih rendah.
Walaupun, bila dibandingkan dengan Omicron subvarian lainnya seperti BA.1 dan BA.2, gejala dari subvarian BA.4 dan BA.5 tidak berbeda bermakna.
Salah satu penyebab derajat keparahan infeksi yang rendah juga diperankan oleh terdapatnya hybrid immunity yang merupakan kombinasi antara pemberian vaksin dan infeksi oleh COVID-19 jenis sebelumnya.
Metode diagnostik dalam kasus Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5 tidak berbeda dengan metode lainnya, terlebih tidak semua kasus pemeriksaan COVID-19 dengan PCR dilakukan gene sequencing untuk mendeteksi apakah benar jenis varian yang menginfeksi adalah Omicron atau varian lainnya.
Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah, apakah pemeriksaan PCR dan antigen masih efektif untuk mendiagnosis COVID-19 Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5?
Hingga saat ini, tidak ada bukti yang menunjukkan penurunan kemampuan deteksi pemeriksaan PCR ataupun antigen dalam mendeteksi virus COVID-19, sehingga antigen dan PCR masih menjadi dasar utama penentuan infeksi COVID-19.
Bahkan, terdapat studi oleh Tsao et al yang meneliti efektivitas antigen untuk mendeteksi COVID-19 varian Omicron secara umum.
Dari studi tersebut ditemukan bahwa test antigen memiliki sensitivitas sebesar 63 persen dan spesifisitas sebesar 99 persen dalam mendeteksi infeksi COVID-19. Hasil yang serupa bila dilakukan tes antigen terhadap varian COVID-19 yang sebelumnya.
Bagaimana melakukan prevensi dan tatalaksana terhadap subvarian baru COVID-19?
Karena tingkat penularan yang tinggi, penting bagi kita untuk mengetahui rentang waktu penularan dari Subvarian terbaru COVID-19 ini.
Walaupun demikian, belum banyak studi yang meneliti tentang subvarian BA.4 dan BA.5 Omicron, terutama perihal penularannya.
Karena berasal dari varian yang sama, varian Omicron, sejauh ini diketahui bahwa penularan masih dapat terjadi selama 9 hari sejak pasien terdiagnosis COVID-19.
Dengan demikian, secara konsisten peraturan bahwa isolasi mandiri sudah selesai pada hari ke-10 untuk subjek yang tidak bergejala atau gejala ringan masih relevan untuk diaplikasikan dalam praktik umum sehari-hari.
Berhubungan dengan menurunnya efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi COVID-19 Omicron BA.4 dan BA.5 akibat dari mekanisme immune escape, kepentingan dari vaksin COVID-19 pun menjadi pertanyaan baik pihak medis maupun non-medis.
Berdasarkan strukturnya, Omicron subvarian BA.4 dan BA.5 memiliki protein spike yang identik, karenanya keduanya seringkali dianggap sebagai satu entitas.
Mutasi yang terjadi pada subvarian tersebut diteliti merupakan dasar dari kemampuannya menghindari sistem imun, sehingga orang-orang yang sudah divaksin pun masih cukup mudah terinfeksi oleh Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5.
Hal ini diteliti oleh oleh Qu P et al yang menyatakan bahwa infeksi Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki kemampuan resistensi terhadap neutralizing-antibody pada subjek yang telah diberikan dua dosis vaksin mRNA-1273 (Moderna) ataupun dua dosis vaksin BNT162b2 (Pfizer-BioNTech), serupa dengan yang dimiliki oleh subvarian BA.1 dan BA.2.
Bahkan, subvarian BA.4 dan BA.5 tersebut mampu menurunkan 4,1 lipat kemampuan neutralizing-antibody.
Namun, perlu diperhatikan bahwa walaupun kemampuannya menurun, apabila jumlahnya menjadi jauh lebih banyak, efektivitas imun yang dicetuskan oleh vaksin pun akan cukup efektif untuk mencegah terjadinya infeksi akibat subvarian BA.4 dan BA.5.
Hal ini terbukti pada subjek yang telah mendapatkan dosis booster (dosis ketiga). Subjek tersebut memiliki neutralizing-antibody dengan jumlah yang menjadi jauh lebih banyak dibandingkan bila hanya diberikan dua dosis saja hingga akhirnya mampu untuk mencegah terjadinya infeksi BA.4 dan BA.5.
Hal ini menjadi landasan yang kuat dari kebijakan oleh satuan petugas (satgas) COVID-19 yang mengharuskan pemberlakuan booster vaksin COVID-19 untuk seluruh warga negara Indonesia, terutama bagi mereka yang bepergian.
Selain itu, vaksin tidak hanya mencegah terjadinya infeksi COVID-19, tapi juga memiliki peranan dalam mencegah terjadinya infeksi COVID-19 yang berat/severe.
Hal ini dibuktikan oleh sebuah studi oleh Davies MA et al membuktikan bahwa vaksin COVID-19 ataupun riwayat infeksi COVID-19 dapat melindungi dari segi severitas atau beratnya gejala pada infeksi COVID-19 Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5.
Riwayat infeksi COVID-19 dapat mengurangi kemungkinan infeksi berat hingga 71 persen, sedangkan pemberian vaksin COVID-19 hingga booster dapat mengurangi kemungkinan infeksi berat hingga 83 persen.
COVID-19 Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5 merupakan Variant of Concern yang mengancam proses perubahan status pandemi COVID-19 menjadi endemi.
Berdasarkan literatur, metode diagnostik dan tatalaksana terhadap COVID-19 varian sebelumnya masih menjadi pegangan yang efektif untuk mendiagnosis dan menatalaksana COVID-19.
Namun, langkah terbaik saat ini untuk mencegah terjadinya infeksi COVID-19 dan mengurangi risiko infeksi COVID-19 derajat berat adalah dengan melakukan vaksinasi booster dalam skala nasional sesegera mungkin.
Dengan demikian, proses transisi status pandemi menjadi endemi di Indonesia pun niscaya akan tercapai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.