Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqbal Nurul Azhar
Pelajar/Mahasiswa Dosen

Akademisi Pemerhati Bahasa dan Sosial Budaya

Paradoks Pelabelan Penderita Afasia dan Ekolalia

Kompas.com - 18/07/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH membaca sebuah bab yang ditulis oleh Wei (2014) berjudul Language and the Brain (Bahasa dan Otak) serta bab lain tulisan Damico, Müller, & Ball (2010) berjudul Social and Practical Consideration in Labeling (Pertimbangan Sosial dan Praktis dari Pelabelan), saya dapat merasakan ada benang merah di antara dua tulisan tersebut.

Tulisan Wei memberikan banyak informasi tentang gangguan bahasa dan klasifikasinya.

Idenya seakan-akan merupakan resonansi dari tulisan yang lebih dahulu terbit karya Damico, Müller, & Ball yang menggambarkan tentang efek pelabelan pada seseorang setelah didiagnosis memiliki gangguan bahasa tertentu.

Wei secara komprehensif menjelaskan kepada pembaca bahwa gangguan neurologis dapat menyebabkan aspek-aspek tertentu dari wicara dan lingua menjadi terganggu.

Gangguan ini terjadi di wilayah yang sangat selektif, misalnya, seseorang dapat mengalami kesulitan menghasilkan suara untuk berbicara, mengalami masalah dalam bentuk distorsi artikulasi, mengalami kesulitan berhubungan dengan pemilihan kata, dan yang paling umum mengalami kesulitan berhubungan penyusunan struktur kalimat.

Salah satu masalah wicara yang cukup popular di kalangan masyarakat akademis terkait kerusakan neurologis yang mengganggu keterampilan bahasa, yaitu afasia.

Ketika seseorang menderita afasia, ia akan mengalami kesulitan menggunakan kata-kata dan kalimat (khususnya pada kasus afasia ekspresif).

Ia juga dapat mengalami masalah yang berkaitan dengan pemahamannya terkait perkataan orang lain kepada mereka (misalnya dalam kasus afasia reseptif).

Orang yang mengidap afasia mungkin harus berjuang untuk melakukan aktivitas produksi dan dan pemahaman bahasa orang lain jika ia menderita afasia global.

Keluarga penderita afasia biasanya akan membawa penderita untuk bertemu dengan dokter atau Profesional Wicara dan Bahasa (PWB) untuk mendapatkan perawatan.

Dokter atau PWB akan melakukan serangkaian penilaian untuk mengetahui akar masalah yang membuat orang tersebut sulit menggunakan bahasa (lihat Damico, Müller, & Ball, 2010).

Ketika masalah dapat teridentifikasi, sang penderita kemudian diberi label, misalnya Penderita Dengan Afasia (PDA).

Dalam kebanyakan kasus, label tersebut ternyata membawa konsekuensi kompleks bagi individu penderita afasia.

Dari sisi positif, diagnosis dan label tersebut dapat membantu keluarga penderita untuk menemukan arah yang jelas terkait perawatan medis penderita afasia di masa depan.

Diagnosis ini memungkinkan dokter dan PWB menyiapkan rencana perawatan sesuai kebutuhan individu penderita.

Selain itu, diagnosis dan label juga akan memberikan peluang bagi individu penderita untuk dapat mengakses sumber daya tambahan yang tidak tersedia tanpa label diagnostik, misalnya, resep atau treatmen gratis dari pemerintah.

Di negara kita, sistem kesehatan umum yang ada cenderung tidak berorientasi pada kebutuhan individu jika diagnosis dan rekomendasi formal tidak dikeluarkan oleh dokter.

Dengan demikian, diagnosis yang akurat dari dokter dan PWB dapat membantu individu penderita dan keluarga dengan memberikan penguatan berupa legitimasi masalah dan pemahaman diri tentang apa yang ia derita.

Sayangnya, label dari dokter dan PWB memiliki risiko sangat besar yang dapat mengganggu kehidupan individu penderita.

Ketika label tidak akurat, perawatan penderita tidak akan berjalan lancar karena treatmen yang diberikan (baik obat-obatan maupun terapi lainnya) tidak menyembuhkan gangguan yang sebenarnya.

Akibatnya, perkembangan wicarapun menjadi sulit untuk didapat dan rencana perbaikan jangka panjang serta harapan keluarga agar penderita kembali ke kondisi normal menjadi pupus.

Selain itu, diagnosis dan pelabelan cenderung membuat penderita terpenjara dalam label. Kecenderungan yang muncul adalah penderita dan keluarga melokalisasi masalah wicara sebagai masalah individu penderita sehingga penderita seringkali menjadi tertekan.

Padahal, masalah afasia membutuhkan banyak faktor dan variabel asing agar dapat membaik.

Dalam beberapa kasus terburuk, penderita terkadang mendapatkan diskriminasi dan intimidasi dari masyarakat karena dianggap aneh dan memalukan.

Ahli Bahasa Terapan (ABT/Applied Linguist) memiliki kesempatan untuk secara praktis membantu permasalahan yang berkaitan dengan gangguan bahasa.

Ahli bahasa terapan yang tertarik pada gangguan bahasa dilatih untuk melakukan penilaian diagnostik pada kesulitan tersebut. Pada gilirannya dapat merekomendasikan secara formal kepada dokter atau PWB tentang intervensi kebahasaan yang dapat dilakukan dalam perspektif medis.

Sayangnya, sejauh ini, peran ABT di seluruh dunia masih berada pada tataran konsultasi, dan tidak menjangkau domain yang lebih dalam seperti intervensi dan pengobatan.

Kedua domain tersebut sejauh ini hanya bisa dilakukan oleh terapis bicara dan bahasa yang berkualifikasi klinis.

Padahal, jika ABT secara yuridis formal diatur dapat memiliki kewenangan demikian, maka akan ada banyak Ahli Bahasa Terapan yang pengetahuannya dapat dikonversi secara spesifik untuk fokus di bidang ini.

ABT memiliki pengetahuan yang cukup karena di jenjang kuliah, mereka banyak berkecimpung dengan mata kuliah terkait seperti Psikolinguistik, Neurolinguistik, Pragmatik Klinis, dan bidang ilmu linguistik lainnya.

Meskipun peran ABT sangat terbatas dalam kasus ini, kita dapat mengatakan bahwa linguistik terapan telah memberikan kontribusi praktis bagi manusia tidak hanya di ranah teori.

Inilah yang terkadang memotivasi saya melakukan studi linguistik terapan dan menemukan cara kreatif untuk membantu masyarakat dengan menerapkan pengetahuan tentang linguistik dalam konteks nyata.

Salah satu contoh masalah linguistik yang saya pikirkan untuk didekati melalui perspektif linguistik terapan adalah masalah mengenai ekolalia (echolalia) atau yang lebih dikenal sebagai latah.

Ekolalia didefinisikan sebagai pengulangan frasa dan suara yang didengar. Pengulangan ini bisa terjadi secara langsung, yaitu penderita mengulangi sesuatu segera setelah ia mendengar sesuatu diucapkan.

Fenomena ini juga dapat berjeda. Penderita mengulangi sesuatu beberapa jam atau hari setelah mendengarnya.

Dalam hal ini, penderita tidak memiliki kendali atas pengulangan, apa yang mereka katakan atau kapan mereka mengatakannya.

Setahu saya, ekolalia adalah masalah bahasa yang tidak dapat didiskusikan melalui perspektif psikolinguistik saja, tetapi harus didekati juga dari perspektif sosial budaya.

Karenanya, untuk menyelesaikan masalah ini, kita perlu menggunakan pendekatan yang cukup kompleks, yaitu pendekatan sosial-budaya-psikolinguistik (sociocultural-psycholinguistics) untuk membahas echolalia.

Beberapa ahli bahasa Eropa seperti Winzeler, R. L. (1995) dan Kenny (dalam Karim, 1990) menganggap ekolalia sebagai penyakit patologis dan diklasifikasikan sebagai gangguan mental yang ditemukan dalam komunitas terbatas, yaitu Indo-Melayu.

Menurut para ahli bahasa, penyakit ekolalia biasanya diderita seumur hidup. Menariknya, orang yang menderita ekolalia dapat memiliki kehidupan secara normal.

Saya menjumpai fakta bahwa ekolalia bisa jadi merupakan gangguan bahasa yang menular. Dalam beberapa kasus, orang normal dapat menderita ekolalia setelah mereka tinggal bersama dengan para penderita latah di sebuah lingkungan yang sama untuk jangka waktu yang lama.

Sampai sekarang, saya masih belum menjumpai informasi terkait perawatan medis atau psikologis yang tepat untuk menyelesaikan masalah kebahasaan ini.

Di Indonesia, ekolalia tidak dianggap sebagai sebuah penyakit sehingga seluruh psikiatri yang ada di rumah sakit tidak memberikan pelayanan khusus bagi penderita ekolalia.

Saya juga belum pernah bertemu penderita ekolalia yang mengunjungi rumah sakit untuk mencari kesembuhan dari kelatahan yang dideritanya.

Oleh karena itu, ketika seseorang dicap sebagai penderita ekolalia, ia tidak mendapatkan konsekuensi apa pun (baik positif atau negatif) dari masalah yang dia alami. Hal ini tentu saja unik, karena Damico,

Müller, & Ball (2010) dengan jelas menyatakan bahwa setiap pelabelan yang terkait dengan masalah bicara pasti membawa konsekuensi, baik positif maupun negatif.

Jika label ekolalia tidak menimbulkan konsekuensi, maka setidaknya harus ada alasan di fenomena ini.

Bisa jadi ekolalia bukanlah masalah mental-psikologis karena jauh berbeda dengan afasia atau gangguan bahasa lainnya yang menuntut konsekuensi ketika seseorang diberi label pada masalah tersebut.

Bisa jadi sikap orang Indonesia yang berlatar belakang ketimuran sangat berbeda dalam menyikapi gangguan kebahasaan bila dibandingkan dengan sikap masyarakat lain terhadap masalah yang sama.

Pamungkas dalam penelitiannya (1998) dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada terapi yang benar-benar bekerja untuk menyembuhkan ekolalia.

Di sisi lain, meskipun tidak ada data pasti mengenai jumlah penderita ekolalia, tetapi ia memperkirakan bahwa jumlah penderita ekolalia lebih dari 0,5 persen penduduk Indonesia.

Ketiadaan informasi dianggap cukup wajar mengingat di Indonesia, pusat data kebahasaan dan permasalahan kebahasaan (big data) masih belum ada.

Masalahnya sekarang adalah, pelatihan seperti apa yang perlu dijalani oleh Ahli Bahasa Terapan untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah ini?

Kedua, seberapa jauh ahli bahasa terapan dapat berpartisipasi dalam hal ini? Dua hal ini tentu saja menarik untuk kita tunggu jawabananya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com