Saya adalah seorang dokter yang mengelola dua praktik mandiri. Satu tempat praktik saya sudah bekerja sama dengan BPJS, sedangkan lainnya belum.
Memang terasa sekali perbedaannya. Tempat praktik saya yang belum bekerjasama dengan BPJS, seperti halnya praktik dokter kebanyakan. Hanya melayani pasien yang datang.
Kemudian diberikan pengobatan disertai edukasi hidup sehat, membayar sejumlah uang, kemudian pasien pulang. Terkesan tidak ada tanggung jawab selanjutnya, kecuali bila pasien datang kembali.
Berbeda dengan tempat praktik saya yang sudah bekerjasama dengan BPJS. Saya mempunyai sekelompok komunitas/masyarakat untuk dipantau betul derajat kesehatannya.
Komunitas ini juga tidak perlu membayar sejumlah uang bila ada yang sakit kemudian datang berobat. Sistem telah membayarkan sejumlah uang terlebih dahulu, yang disebut sebagai kapitasi.
Saat ini nilai kapitasi per orang yang dibayarkan adalah delapan ribu rupiah. Misalnya, komunitas yang harus dibina oleh seorang dokter praktik sejumlah 1.000 orang, maka dokter berhak mendapatkan uang Rp 8 juta setiap bulan. Mau komunitasnya itu sehat atau sakit.
Yang terjadi? Seorang dokter di posisi ini akan berjuang mati-matian agar komunitasnya stabil, tidak ada yang sakit. Supaya tidak menggerus uang kapitasi yang telah diterima.
Apa yang dilakukan? Tanpa diminta pun dokter tersebut akan melakukan upaya preventif dan promotif dengan maksimal pada komunitasnya.
Sistem ini sering disebut sebagai paradigma sehat, di mana layanan kesehatan memang berorientasi pada status kehatan perorangan ataupun di tingkat masyarakat.
Ini sejalan dengan cita-cita ketika jaminan layanan kesehatan nasional (JKN) diluncurkan di tahun 2014.
Role model pelayanan primer dengan kosep paradigma sehat selama ini baru dilaksanakan oleh Puskesmas. Pertanyaannya mampukah puskesmas melakukannya sendirian?
Sebagai gambaran saja, saya juga adalah seorang kepala puskesmas dengan wilayah kerja cukup luas yang meliputi 7 desa. Jumlah penduduknya sekitar 44.000 jiwa.
Dengan sumber daya manusia hanya tiga orang dokter umum, termasuk saya. Ditambah tujuh tenaga bidan desa dan delapan bidan puskesmas.
Untuk program pengendalian AKI saja yang diantaranya deteksi dini kehamilan berisiko tinggi, sering keteteran.
Masih saja ada pasien bisa lolos dari deteksi dini kehamilan bermasalah. Tahu-tahu ibu hamil datang ke puskesmas sudah siap melahirkan, padahal tekanan darahnya masih sangat tinggi, misalnya.