Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Susu Formula, Dimusuhi tetapi Terus Dibeli

Kompas.com - 10/09/2022, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara itu, faktanya masih sangat sedikit masyarakat yang mau dan mampu membaca dari sumber bacaan yang lebih dapat dipercaya dan bebas hoaks, semisal media arus utama, baik versi cetak maupun online.

Informasi berkualitas sejatinya juga bisa diperoleh dari buku-buku bermutu, baik berbentuk cetak maupun digital, serta berbagai laman dari lembaga yang sudah memiliki reputasi baik. Namun semua ini menuntut minat sekaligus daya baca yang tinggi.

Secara empiris, sebab lain dari tingginya konsumsi susu formula adalah karena susu formula, terutama susu formula pertumbuhan untuk anak usia 1 hingga 3 tahun (growing-up milk / GUM), apabila diberikan dengan ukuran asupan dan saat yang tepat justru berdampak positif pada kesehatan anak.

Karena itu, sebagian besar ibu anak balita tetap memberikan susu formula untuk anak-anak mereka. Dalam konteks dan kondisi yang benar dan dibenarkan, semestinya susu formula tidak harus selalu dipertentangkan dengan ASI. Susu formula bahkan bisa membantu dengan menjadi pendamping ASI yang tepat.

Pemahaman tersebut di atas tidaklah salah dan bahkan sejalan dengan temuan dari penelitian yang dilakukan tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) berjudul "Daily Consumption of Growing-Up Milk is Associated with Less Stunting among Indonesian Toddlers" oleh Sjarif et al. (2019).

Studi tersebut menyimpulkan bahwa konsumsi harian 300 ml GUM dapat dipertimbangkan untuk mencegah stunting pada balita. Produk daging merah (sosis, nugget, dan bakso) yang banyak dikonsumsi karena kepraktisannya belum dapat dikatakan sebagai sumber protein hewani yang penting karena kandungan gizinya yang sangat bervariasi.

Data empiris yang dimiliki penulis juga menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki anak usia 1 – 3 tahun sebagian besar mengonsumsi GUM. Penulis pernah melakukan riset untuk disertasi pada rentang Mei hingga Oktober 2021 tentang perilaku konsumen GUM di dua provinsi (Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur) yang meliputi 4 kabupaten/kota (Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Malang, dan Kota Malang).

Hasilnya, dari 1.493 responden yang semuanya anggota Posyandu, sebanyak 1.029 atau 79,4 persen anggota yang memiliki anak usia 1 – 3 tahun memberikan GUM untuk anak mereka karena yakin dengan manfaatnya untuk pertumbuhan anak.

Tentu saja data tersebut tidak bisa digunakan sebagai dasar pembenaran pemberian susu formula ataupun GUM sebagai pengganti ASI.

Susu formula ataupun GUM, boleh diberikan kepada bayi atau anak balita, jika dan hanya jika kondisi ibu bayi atau balita tidak memungkinkan memberikan ASI karena sebab yang dibenarkan secara medis. Misalnya karena sakit, meninggal, menjalani perawatan medis yang tidak aman selama menyusui, memiliki riwayat operasi payudara seperti mastektomi atau operasi pengecilan payudara, serta memiliki riwayat perawatan radiasi, misalnya dalam pengobatan kanker payudara, dan memiliki sakit menular.

Jalan keluar

Sejatinya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan nasional, melaksanakan advokasi dan sosialisasi program, serta edukasi secara masif tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi hingga usia enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain sesuai amanah yang tercantum dalam PP Nomor 33 Tahun 2012.

Namun, diperlukan usaha nyata, komitmen, serta anggaran yang jauh lebih besar agar PP tersebut dapat menuai hasil optimal. Misalnya melalui iklan layanan masyarakat melalui TV dan platform digital secara lebih intens, supaya terbangun kembali kesadaran dan literasi masyarakat tentang pentingnya ASI eksklusif.

Selain itu, untuk mengimbangi agresivitas pemasaran susu formula yang dilakukan oleh industri, dibutuhkan juga tenaga kesehatan termasuk kader posyandu dengan pengetahuan yang memadai (knowledgeable) baik tentang ASI maupun tentang susu formula, agar mampu mengedukasi sekaligus meyakinkan masyarakat agar kembali memprioritaskan ASI untuk bayi dan balita mereka. Pemberian susu formula ataupun GUM hanya sebagai asupan tambahan dan bukan pokok.

Dari laman Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), diketahui bahwa sekitar 83 persen produksi susu (olahan) dunia berasal dari susu sapi, selebihnya adalah susu kerbau, susu kambing dan sedikit susu unta.

Baca juga: Mengenal Kandungan Gizi Air Susu Ibu

Namun, berdasarkan data dari banyak penelitian ilmiah, ASI tetaplah susu terbaik untuk bayi, sementara susu sapi adalah susu terbaik untuk anak sapi. Oleh karenanya ASI tetap merupakan pilihan yang paling rasional untuk bayi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau