PANDEMI Covid-19 yang mulai mereda membuat pemerintah kembali memberikan perhatian pada beberapa isu strategis lain di sektor kesehatan. Salah satu isu yang menjadi perhatian pemerintah adalah upaya menurunkan stunting yang mengalami perlambatan akibat pandemi Covid-19.
Dalam peringatan Hari Anak Nasional lalu, misalnya, pemerintah mengangkat tema “Ayo Cegah Stunting agar Keluarga Bebas Stunting”. Presiden secara khusus juga menyatakan bahwa stunting merupakan ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Indonesia masih memiliki pekerjan rumah besar karena prevelensi stunting yang masih sebesar 24,4 persen, sementara target angka stunting di 2024 adalah turun menjadi 14 persen.
Namun di tengah ambisi besar penurunan stunting, kita dihadapkan pada fakta kemampuan penduduk dalam mengonsumsi makanan bergizi masih rendah.
Baca juga: Ibu Punya Peran Penting dalam Mencegah Stunting
Tim jurnalisme data harian Kompas yang mencoba menghitung biaya untuk membeli makanan bergizi di Indonesia berdasarkan standar komposisi Healthy Diet Basket (HDB), dan digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), menemukan bahwa 183,7 juta atau 68 persen penduduk tidak mampu memenuhi kecukupan gizi tersebut.
Dengan menggunakan standar tersebut, untuk mendapatkan makanan bergizi seimbang dibutuhkan biaya Rp 22.126 per hari per orang atau Rp 663.761 per orang per bulan. Kenyataan di lapangan menunjukkan, nilai konsumsi makanan lebih dari separuh orang Indonesia masih di bawah nilai tersebut.
Hasil analisis Kompas tidak jauh berbeda dari analisis FAO tahun 2021 yang menunjukkan bahwa ada 69,1 persen penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan bergizi. Daerah-daerah di kawasan tengah dan timur Indonesia menjadi yang penduduknya paling banyak tidak memenuhi nila kecukupan makanan gizi seimbang.
Prosentase jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang menjadi ironi dihadapkan pada upaya intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi stunting. Dalam target intervensi sensitif yang dilakukan pemerintah, hanya 15,6 juta keluarga miskin dan rentan yang akan menerima bantuan sosial pangan.
Artinya, tidak semua penduduk yang berada dalam kondisi tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang akan menerima bantuan sosial pangan. Sementara kondisi lapangan menunjukkan, sekitar 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah stunted, akibat ibu hamil sejak masa remaja kurang gizi dan anemia.
Stunting juga meningkat signifkan pada bayi usia 6-23 bulan, akibat kurang protein hewani pada makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan.
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang sering dialami oleh anak di dunia. Kejadian stunting menandakan bahwa anak tersebut tidak cukup gizi. Ketidakcukupan gizi merupakan salah satu faktor penyebab stunting. Namun hal itu bisa juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.