Aktivitas menggambar alam-benda yang digunakan sebagai salah satu sarana mereduksi delusi atau waham ini berlangsung lima sessi setelah semua proses pengambilan data terpenuhi.
Sessi intervensi berlangsung dalam durasi sekitar 45 menit setiap sessi. Durasi ini juga disesuaikan dengan ijin yang diberikan oleh pihak rumah sakit.
Pada awal ia diminta untuk mencoba menggambar obyek apapun yang ada di lingkungan sekitarnya sesuai dengan kemampuannya dan ia diminta untuk menjelaskan hal yang dirasakan ketika menggambarkan obyek tersebut.
Pada mulanya ia menggambarkan tempat sampah. Ia merasakan kesulitan menggambarkan obyek tersebut walau relatif sederhana karena ia sulit melukiskan kemiripan lekuk-lekuk yang terdapat pada obyek tersebut.
Ia kemudian beralih menggambarkan tanaman yang terdapat di dekatnya dan ia mengutarakan bahwa ia dapat belajar memahami perbedaan bentuk batang, cabang dan daun dari tanaman; ia mulai belajar merasakan perbedaan hal-hal alam realita secara langsung.
Pada sessi kedua, ia diminta menggambarkan obyek yang terasa dekat dengannya. Ia menggambar handphone.
Ia semakin menyadari kekhasan obyek tersebut yang semula cenderung digambarkan secara global kini bertahap semakin mirip dengan obyek nyatanya.
Ia semakin mampu menggambarkan realita semirip mungkin dengan obyek dan semakin menjadari bagian obyek yang digambarkannya.
Dalam sessi ketiga, ia belajar mengintegrasikan obyek yang pernah digambar sebelumnya. Di sessi awal ia menggambarkan tanaman di dalam pot, dan di sessi kedua ia menggambarkan handphone.
Dalam sessi ketiga, ia menggambarkan tanaman dalam pot serta handphone yang diletakkan dekat pot; di samping itu ia juga menggambarkan taplak meja yang melandasi pot serta handphone.
Proses ini merupakan proses menggambar integratif di mana individu mengintegrasikan penginderaan beberapa bentuk obyek ke dalam satu kesatuan tema.
Dalam pertemuan keempat yang berlangsung di luar RSJ, ia diminta untuk kembali menggambarkan beberapa obyek nyata di hadapannya secara terintegratif (merupakan kesatuan tema).
Ia diminta untuk mentrasformasikan gambarnya tersebut dengan membuat obyek menggunakan lilin mainan (wax-clay). Ia amat menikmati kegiatan tersebut dan merasa semakin mampu menggambar dan membentuk obyek mirip dengan obyek nyatanya.
Ia semakin menyadari adanya perbedaan antara hal nyata dan hasil interpretasi atas persepsinya, dan kondisi ini memengaruhi pemahaman secara positif dalam membedakan alam fantasi dan alam realita.
Pada sessi terakhir melalui proses review, baik langsung pada dirinya maupun atas hasil interview dengan ayahnya, ia terkesan mampu membedakan fantasi dan realita secara lebih baik.
Ia menjadi lebih waspada ketika tengah berfantasi dan menyadari hal tersebut berbeda dengan realita.
Ayahnya melaporkan bahwa selama periode beberapa minggu terakhir setelah intervensi menggambar alam-benda, ia tak lagi berfantasi seperti sebelumnya. Ia tidak lagi bertindak agresif dan lebih mematuhi petunjuk dokter untuk minum obat.
Kondisi ini menunjukkan adanya kemajuan dalam proses treatment, namun tentunya harus diwaspadai sekiranya terjadi jeda terlalu lama besar kemungkinan ia akan mengalami kambuh seperti sebelumnya.
Oleh karena itu, kemajuan langkah treatment ini harus ditindak lanjuti secara berkesinambungan guna mencegah kambuh. Tentunya amat diharapkan bahwa pihak RSJ dapat menindak lanjuti proses ini dengan baik.
*Rizky Bina Nirbayaningtyas, Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UNTAR
Willy Tasdin dan Monty P. Satiadarma, Dosen Fakultas Psikologi UNTAR