Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Melawan Stigma Kusta

Kompas.com - 19/04/2023, 06:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA wilayah endemis kusta. Kantong penderita kusta dapat ditemukan di seluruh pelosok Tanah Air. Banyak saudara kita tidak beruntung menderita kusta.

Tanpa pengobatan dini dan teratur, penderita mengalami komplikasi dan menderita cacat. Sebagai negara endemis kusta, pemerintah menyediakan pengobatan multi drug therapy (MDT) di seluruh Indonesia lewat puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah.

Dalam melawan stigma kusta, tahun 2023 WHO memandang perlunya gelora united for dignity, yaitu bersatu untuk martabat. Dampak penyakit kusta menyangkut masalah kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Baca juga: Tanda-tanda Kusta yang Perlu Diwaspadai

Stigma dan Martabat Penderita

Ketika pasien terlambat menjalani pengobatan, yang terjadi kemudian adalah komplikasi, cacat, dan pengasingan. Kusta tidak hanya masalah kesehatan, tetapi juga terkait martabat penderita, keluarga, dan masyarakat.

Stigma persoalan sulit dalam pemberantasan penyakit kusta. Hal yang telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun sejak kusta dikenal manusia.

WHO dan negara endemis kusta mencoba melawan pandangan negatif tersebut dengan menyerukan persatuan dalam menghormati martabat penderita kusta. Diharapkan semua komponen bangsa bergerak dalam pemberantasan kusta dan pemberdayaan penderita.

Stigma dapat menghalangi penemuan dan pengobatan penderita penyakit kusta. Meskipun tidak terjadi komplikasi dan kecacatan, tetapi karena pernah menderita kusta, maka stigma masih terjadi.

Masyarakat takut tertular dan jijik akibat cacat yang kelihatan. Stigma mengakibatkan diskriminasi yaitu tidak diterima bekerja, dikeluarkan dari pekerjaan, tidak boleh sekolah, jadi bahan ejekan, ditolak naik kendaraan umum, dilarang ke tempat ibadah dan restoran, hingga dilarang interaksi sosial dengan tetangga.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Penyakit Kusta: Penularan, Gejala, dan Pengobatannya

Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan dan organ tubuh lain (kecuali otak), dan dapat mengakibatkan cacat anggota gerak.

Kusta ditularkan lewat percikan hidung dan ludah pasien lalu sampai permukaan kulit atau mukosa. Masa inkubasinya antara 5 sampai 40 tahun, tergantung imunitas seseorang.

Manifestasi klinis tampak di saraf tepi dan permukaan kulit, terutama di tangan, kaki dan wajah.

Penyakit kusta dikenal sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Peninggalan sejarah di Mesir dan India (1400 SM), Tiongkok (600 SM), dan Mesopotamia (400 SM) menunjukkan telah terjadi pengasingan secara spontan karena pasien kusta merasa rendah diri dan malu, di samping masyarakat jijik dan takut.

Pada waktu itu pasien kusta merupakan rakyat biasa, lemah, dan pengobatan belum ditemukan. Mereka dipaksa tinggal di leprosaria atau perkampungan kusta seumur hidup.

Ketika dokter Gerhard Armauer Henrik Hansen (1873) menemukan kuman penyebab penyakit kusta di bawah mikroskop, telah dimulai pengobatan yang dapat membuat penderita sembuh. Namun sampai sekarang dunia belum bebas dari kusta.

Jumlah Penderita di Indonesia Nomor Tiga di Dunia

Kusta menjadi penyakit kronik dan persisten. Jumlah pasien kusta Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Brasil. Penemuan pasien baru kusta Indonesia dalam kisaran 16.000-18.000 per tahun.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau