Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
CIRCULAR ECONOMY

Ancaman Kontaminasi Mikroplastik pada Air Minum Kemasan

Kompas.com - 09/05/2023, 17:20 WIB
Erlangga Satya Darmawan,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Selama ini, air minum dalam kemasan (AMDK) diklaim sebagai produk higienis sehingga aman dikonsumsi. Oleh karena itu, AMDK menjadi andalan masyarakat untuk memenuhi asupan cairan tubuh.

Meski demikian, sejumlah riset dalam lima tahun terakhir justru menunjukkan ancaman kontaminasi mikroplastik pada AMDK. Contohnya adalah hasil penelitian dari State University of New York at Fredonia bersama organisasi media nirlaba asal Amerika Serikat (AS), Orb Media, pada 2018.

Penelitian terhadap 11 brand minuman di 9 negara, termasuk Indonesia, tersebut menemukan bahwa 93 persen dari 259 botol AMDK yang diuji mengandung mikroplastik.

Adapun mikroplastik yang ditemukan meliputi polypropylene, nilon, polyethylene terephthalate (PET). Senyawa ini biasa digunakan pada penutup botol.

Pemimpin riset tersebut, Sherri Mason, menyebutkan bahwa sebanyak 65 persen mikroplastik yang ditemukan berupa fragmen, bukan serat.

Baca juga: Tren Gaya Hidup Sehat Meningkat, Galon AMDK BPA Free Semakin Dilirik

Konsentrasi partikel mikroplastik yang ditemukan berkisar antara 0-10.000 partikel dalam satu botol. Mikropartikel ini berukuran 100 mikron atau setara diameter rambut dan berukuran 6,5-100 mikron atau setara sel darah merah.

Adapun dalam satu liter, ditemukan sekitar 10,4 partikel mikroplastik dan 325 partikel mikroplastik berukuran 6,5-100 mikron.

“Kontaminasi mikroplastik kemungkinan terjadi saat tahap pembotolan air karena sebagian berasal dari botol dan tutupnya,” jelas Mason seperti dikutip AFP, Kamis (15/3/2018).

Hasil serupa juga ditunjukkan pada dua penelitian lain, yakni Xue-jun Zhou dari Zhe Jiang Institute of Product Quality and Safety Inspection, Hangzhou, China, pada 2021, dan Anna Winkler dan dari Department of Environmental Science and Policy, University of Milan, Italia, pada 2019.

Zhou menemukan kontaminasi mikroplastik pada 23 merek AMDK di China. Temuan tersebut juga menguatkan riset Mason bahwa kontaminasi terjadi pada tahap pembotolan.

Sementara itu, penelitian Winkler menemukan bahwa kontaminasi mikroplastik terjadi pada pengisian dan penutupan botol kemasan.

Juga ditemukan pada kemasan gelas plastik

Di Indonesia, kontaminasi mikroplastik tak hanya ditemukan pada kemasan botol. Berdasarkan hasil riset dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar bersama lembaga FMCG Insights AMDK, kontaminasi juga ditemukan pada kemasan gelas plastik.

Bahkan, penelitian itu menyimpulkan bahwa kontaminasi mikroplastik pada kemasan gelas plastik lebih tinggi ketimbang botol dan galon.

Untuk diketahui, penelitian dilakukan terhadap beberapa merek AMDK dalam berbagai bentuk kemasan, baik gelas, botol, maupun galon.

Dari tiap merek, tim peneliti mengambil empat sampel untuk diteliti kontaminasi mikroplastik menggunakan Fourier-Transform Infrared Spectrometer (FTIR) 8400S Shimadzu. Hasilnya, lima dari total 48 sampel yang tidak terkontaminasi oleh mikroplastik.

Baca juga: Peningkatan Kesadaran Hidup Sehat Kerek Market Share AMDK Galon Bening

“Dengan kata lain, terdapat sekitar 89,6 persen sampel AMDK yang terkontaminasi oleh mikroplastik,” salah satu anggota peneliti, Khusnul Yakin, dalam keterangan tertulis, Selasa (2/1/2023).

Penelitian tersebut juga menguatkan hasil riset lain yang dilakukan sebelumnya, yakni mikroplastik yang ditemukan di dalam AMDK ternyata tak berasal dari kemasan plastiknya, tetapi kemungkinan dari sumber air bakunya.

"Berdasarkan temuan, dapat disimpulkan bahwa sumber mikroplastik yang ada di dalam AMDK tidak berasal dari kemasannya. Sumber kontaminasi mikroplastiknya diduga berasal dari sumber air baku dan udara saat pengemasan AMDK dilakukan," jelas Khusnul.

Bahaya mikroplastik bagi kesehatan

Kontaminasi mikroplastik yang terserap tubuh dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Hal ini ditunjukkan melalui uji toksisitas pada hewan dan sel kultur manusia.

Diberitakan Kompas.id, Jumat (23/9/2021), dokter spesialis saraf Pukovisa Prawiroharjo menjelaskan bahwa hasil uji coba pada sel menunjukkan, mikroplastik dapat menyebabkan penurunan kemampuan neurotransmiter yang berkaitan dengan kemampuan mengingat pada otak.

“Ada kecenderungan bermasalah. Ada pula penelitian yang menemukan mikroplastik di feses dan urine. Secara jangka panjang, ini diprediksi dapat menurunkan kesehatan organ tubuh,” jelas Pukovisa.

Hal serupa juga diungkapkan peneliti mikroplastik yang juga dosen Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Inneke Hantoro.

Diberitakan Kompas.id, Kamis (16/6/2022), Inneke menjelaskan, hasil uji toksisitas pada hewan, mikroplastik berdampak buruk pada pencernaan, liver, sistem saraf, dan sistem reproduksi.

“Misalnya, larva akan jadi berumur pendek,” tuturnya.

Pengujian pada sel kultur manusia juga menunjukkan hal sama. Mikroplastik, jelas Inneke, juga bersifat sitotoksik yang berarti beracun untuk sel.

Mikroplastik yang terserap tubuh dapat mengganggu sistem imun dan menembus sel barrier di tubuh. Hal ini bisa menimbulkan stres oksidatif.

“Ini baru indikasi awal karena semua studi toksisitas di sel kultur konsentrasinya selalu lebih tinggi. Masih perlu data lebih lanjut untuk mengetahui dampak paparan dalam kondisi sesungguhnya,” katanya.

Inneke mengatakan, untuk mengetahui implikasi kesehatan pada manusia, studi lanjutan toksisitas perlu dilakukan. Dengan demikian, bahaya mikroplastik pada kesehatan manusia dapat diidentifikasi dan dikarakterisasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com