“Produsen sebaiknya melakukan inovasi untuk memproduksi galon yang aman dan sehat untuk kemasan AMDK,” kata Chalid.
Dia mencontohkan, beberapa inovasi yang bisa dilakukan adalah penerapan metode post-consumer resin (PCR), yaitu pendaurulangan kemasan plastik dengan mencacah galon menjadi resin plastik.
Selanjutnya, resin itu dicampur dengan resin baru yang belum pernah digunakan dengan komposisi tertentu. Campuran ini dapat dibentuk menjadi kemasan baru.
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari juga menyampaikan pandangan serupa.
Menurutnya, paparan BPA dapat memengaruhi fisiologi yang dikendalikan hormon endokrin. Selain itu, BPA juga dapat mengganggu perkembangan otak pada janin yang sedang dikandung, serta meningkatkan risiko hipertensi, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
“Sudah banyak studi yang menjelaskan bahwa konsentrasi BPA di dalam urine berhubungan dengan penurunan kualitas sperma. Kemudian, paparan BPA selama prenatal pada perempuan hamil juga berhubungan dengan perilaku agresif dan hiperaktif anak, terutama pada anak perempuan,” jelas Agustina.
Dia menambahkan, sejumlah negara semakin mengawasi penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman, termasuk AMDK.
Kanada, misalnya, telah mengklasifikasikan BPA sebagai zat beracun dan menetapkan larangan terbatas penggunaan BPA.
Selain itu, Uni Eropa (UE) juga mengeluarkan larangan penggunaan bahan yang mengandung BPA untuk botol susu bayi pada 2011.
“Negara bagian California, Amerika Serikat, juga mewajibkan produsen untuk memberi label pada kemasan. Label ini menginformasikan bahwa produk itu mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker serta gangguan kehamilan dan sistem reproduksi,” ujar Agustina.
Dia melanjutkan, negara lain, seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga telah melarang penggunaan BPA pada kemasan kotak pangan untuk konsumen yang berada pada usia rentan, yakni mulai 0 sampai 3 tahun.
Baca juga: Demi Kesehatan Jangka Panjang, Industri AMDK Perlahan Beralih ke Kemasan PET
Berkaca pada hal itu, Agustina mengatakan bahwa PB IDI mendorong upaya pelabelan kandungan BPA pada kemasan produk yang akan dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Kami juga mendukung upaya edukasi konsumen agar mereka mengetahui upaya pencegahan migrasi BPA ke dalam tubuh, misalnya dengan tidak menyimpan kemasan di bawah suhu tinggi pada waktu lama, serta tidak menggosok atau menyikat permukaan kemasan,” tutur dia.
Sementara itu, saat mengisi acara diskusi ringan di Bogor, Senin (22/5/2023), Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional Slamet Riyadi juga mengajak pengusaha untuk menaati seluruh peraturan tentang label pangan.
“Peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan oleh BPOM, Kemendag, maupun pemerintah, termasuk Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam Pasal 4, berkaitan dengan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen,” imbuh Slamet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.