Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
RILIS BIZ

Paparkan Wawasan Mengenai BPA, Dokter Sebut Masih Sebatas Uji pada Hewan

Kompas.com - 18/12/2023, 13:41 WIB
Sri Noviyanti

Editor

KOMPAS.com – Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Karin Wiradarma, SpGK SMF mengkritisi isu negatif terkait bahaya Bisfenol A (BPA) pada kemasan makanan ataupun minuman yang beredar dimasyarakat. Meski perlu berhati-hati, ia mengatakan bahwa hinggi kini, belum ada satu negara pun yang sudah melakukan uji bahaya BPA terhadap manusia.

Adapun uji coba BPA baru dilakukan terhadap hewan percobaan dan itupun secara in vitro. Artinya, belum dapat dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda.

Berbicara pada peluncuran buku BPA yang berisikan wawasan dan seluk-beluk mengenai BPA beberapa waktu lalu, dokter gizi klinis tersebut memaparkan banyak hal.

Baca juga: Apakah Plastik BPA Aman? Simak Penjelasan Ahli Berikut Ini…

Salah satu yang ia paparkan mengenai studi di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA diduga sebagai endokrin disruptor yang bisa mengganggu hormon estrogen yang bisa menyebabkan kanker ovarium, kanker payudara, dan kanker prostat.

“Akan tetapi, itu dampak dari BPA yang masih aktif. Sementara, sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia itu secara cepat akan dimetabolisme oleh hati menjadi BPA tidak aktif dan tidak bisa lagi mengakibatkan efek endokrin ataupun estrogen seperti yang dikhawatirkan,” ujarnya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Senin (18/12/2023).

Ia menekankan bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memetabolisme zat berbahaya. Setelah dimetabolisme di dalam hati, BPA menjadi tidak aktif. Hasilnya akan dibuang melalui urine ataupun feses.

Baca juga: Apa Itu BPA dan Dampaknya bagi Kesehatan?

Adapun studi di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA itu telah menyebabkan gangguan perkembangan saraf anak juga menggunakan hewan percobaan.

“Uji coba itu masih dilakukan terhadap hewan percobaan dan belum ke manusia. Itu tidak bisa dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda,” paparnya kembali.

Begitu pula dengan studi lain di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA sebagai penyebab terjadinya obesitas dan penyakit kardiovaskular.

Ia menegaskan bahwa dalam studi itu, obyek yang dipakai adalah hewan percobaan. Menurutnya, studi tersebut menyebutkan bahwa BPA memiliki efek yang sama seperti estrogen, dan bisa memengaruhi sistem endokrin yang bisa memengaruhi metabolisme gula.
Akibatnya, bisa terjadi resistensi insulin, bahkan membuat diabetes dan penyakit jantung pembuluh darah serta tekanan darah tinggi.

“Jadi, di laboratorium dan studi pada manusia sendiri masih terbatas, dan itu derajatnya masih studi observasional atau pengamatan. Studi tersebut juga belum dilakukan secara seragam berdasarkan metodologinya. Kriteria eksklusinya dan skor nilainya masih rendah karena masih belum seragam, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan yang valid mengenai hubungan kausalitasnya,” tuturnya.

Mengenai studi yang mengatakan BPA sebagai penyebab terjadinya infertilitas bagi perempuan, menurut dr Karin, juga tidak signifikan. Sebab, banyak sekali faktor-faktor lain yang memicu infertilitas.

“Penyebab infertilitas bagi perempuan ini belum digali lagi secara mendalam. Jadi, masih belum dapat ditemukan hubungan kausalitasnya dan belum bisa disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara BPA dengan infertilitas pada wanita,” tukasnya.

Pun studi yang menyebutkan BPA pada wanita hamil bisa mengakibatkan kelahiran prematur, menurut dr Karin, belum konklusif.

“Karena jumlah sample-nya saja masih sangat terbatas. Jadi, penelitian ini masih belum memastikan hubungan kausalitas,” tuturnya.

Menyarankan ada studi lanjutan

Dia menjelaskan bahwa untuk membuktikan BPA telah membahayakan kesehatan manusia membutuhkan studi lanjutan. Pembuktian bisa dilakukan melalui studi Kohort yang dilakukan terhadap manusia langsung.

“Studi harus mengikuti dari mulai (manusia) terpapar hingga timbul penyakit. Tapi, kalau hanya mengamati saja tanpa melakukan eksperimen berikutnya yang lebih kuat lagi, itu belum bisa memastikan hubungan kausalitasnya,” ucapnya.

Baca juga: Dokter: Belum Ada Bukti BPA pada Galon Air Berbahaya bagi Kesehatan

Sekali lagi, ia juga menegaskan bahwa pembuktian dampak negatif BPA juga dapat dilakukan melalui studi eksperimen.

“Studi eksperimen secara acak dna tidak acak harus dilakukan. Kalau (studi) acak tentunya akan lebih kuat karena tidak ada bias-biasnya,” ujarnya.

Hal yang perlu dilakukan pula untuk membuktikan, kata dia, adalah melakukan critical appraisal. Lewat teknis ini, penelitian terdahulu yang sudah dilakukan dapat di-review atau dikritisi lagi oleh pihak lain untuk membuktikan apakah penelitian itu sahih, valid, dan kuat.

Mengakhiri paparannya, dr Karin menekankan bahwa penggunaan BPA pada kemasan makanan masih dinyatakan aman oleh berbagai badan dunia, termasuk Indonesia, dengan ambang batas tertentu.

“(Janagan terlalu khawatir). Kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan desain lebih baik dan ideal untuk bisa menemukan hubungan kausalitasnya. Sampai saat ini, memang belum ada penelitian dengan desain yang ideal dan kuat yang menemukan hubungan kausalitas tersebut,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com